19. Tantrum

831 107 18
                                    

Pijar menggeleng, menepis anggapannya. Tidak mungkin Kahiyang tahu apa yang terjadi pada Ibu. Selain pada Dinar, ia tak pernah menceritakan apa yang ia alami pada orang lain. Ia bukan istri penyebar aib suami di medsos atau berkeluh kesah pada tiap orang. Namun, sepertinya Tuhan membantunya agar tetap waras ketika Ibu sudah mulai menghakiminya.

Kalau sudah berhadapan dengan Ibu, Pijar merasa detik waktu yang berdetak seolah begitu lambat. Lima menit seperti satu jam lamanya. Percakapan riuh di pendapa joglo terdengar memuakkan karena arisan ini seolah menjadi ajang pamer keberhasilan anak-anak mereka. Terlebih Ibu selalu mengagungkan Kahiyang yang berani melepas pekerjaannya demi keluarga, Satria yang menjadi pejabat di kantor kementerian dan Bhre yang menjadi dokter anestesi.

Yang tersisa untuknya hanya ....

"Kapan ngadheni (memberi adik) Nala?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Bulik Mar yang mempunyai putra lima.

"Lagi usaha ini, Bulik. Moga bulan depan ada kabar baik." Bhre menjawab dengan memberikan cengiran, sambil melirik Pijar.

Dada Pijar sesak. Sebegitunya Bhre ingin punya anak, tapi tidak pernah menanyakan pendapatnya? Pijar tersenyum miring, menertawakan harapan kosong Bhre.

"Jangan lama-lama. Mumpung masih muda," tambah saudara yang lain.

"Tuh, Pijar! Dengerin bulikmu!" Kesempatan itu seolah dipakai Ibu untuk kembali menyudutkannya di depan keluarga besar.

"Iya, Bu. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Tuhan yang menentukan." Pijar berusaha menetralkan situasi

"Usahanya ya jaga baik-baik kesehatan kamu. Jangan kecapekan kerja," balas Ibu ketus.

Tangan Pijar meremas kuat pahanya. Setiap kata yang terlontar dari bibir Ibu begitu tajam, menusuk jantungnya. Ia hanya bisa membisu, seolah otaknya kehabisan kata-kata. Semisal dijawab pun pasti akan membuat Pijar terlihat seperti menantu durhaka. Sementara bila tak dijawab, batinnya semakin terluka.

"Oh, ya, Dek Prima sekarang kuliah semester berapa, Bulik?" Bukannya membela Pijar, Bhre malah melempar topik lain yang disambut dengan cerita Bulik Mar yang bersemangat menceritakan anak bungsunya yang sedang kuliah di Nanyang University.

Mengetahui perhatian semua orang tertuju pada tuan rumah, Pijar bangkit dan bergegas ke dapur. Ia berpura-pura menyibukkan diri dengan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan bekal yang ia bawa dari rumah untuk menyuapi Nala walau belum saatnya maka

"Nala, ayo maem du-" Mata Pijar membeliak melihat Nala memegang kerupuk rambak seharga lima ratusan. Mulut mungil itu belepotan dengan remah rambak yang sangat dilarang Pijar untuk dikonsumsi putrinya. "Nala! Manda bilang nggak boleh makan rambak, 'kan? Kenapa kamu masih saja ngeyel?" Pijar menepis bungkusan kerupuk itu hingga isinya berserakan di tanah.

Mulut keempat anak kecil itu seperti ditarik gravitasi. Mata mereka mengerjap dan ketiga anak lainnya mengayun kaki selangkah ke belakang Nala yang mematung.

"Manda bilang nggak boleh buang makanan. Kenapa Manda buang? Ini makanan dikasih Mbak Agni!" Suara Nala meninggi hingga wajah pucatnya memerah.

Pijar terkesiap. Bisa-bisanya ia melemparkan kekesalannya pada Nala. Dengan susah payah, ia menelan ludah dan berharap para orangtua tak mendengar pekikan anaknya. "Nala tahu 'kan, Nala nggak boleh makan rambak?" Pijar berusaha menekan rasa bersalahnya.

Nala menghentakkan kakinya dengan mata melebar. "Makanan Manda nggak enak! Nala benci makanan Manda! Nala nggak suka Manda!"

Seruan keras Nala itu bagai guntur menggelegar. Seketika langit cerah tak berawan yang menaungi langit Desa Ngering berubah menjadi mendung di mata Pijar. Pandangannya suram dan perlahan mengabur, menatap Nala yang berlari menjauh.

My Sweetheart (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang