"Mas Bhre ngapain di sini?" Pijar mengernyit, menatap Bhre yang ada di situ.
"Udah selesai?" tanya Bhre. Namun, arah pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Termasuk ke arah Kevin yang ada di dalam.
"Udah ...." Pijar bingung dengan ekspresi kaku Bhre.
"Kalian cuma berdua?" Bhre mencecar pertanyaan tanpa henti.
'Iya. Kevin bantu-"
"Ayo, pulang!" Tak menunggu Pijar menyelesaikan ucapannya, Bhre menarik tangan istrinya.
"Jar, besok jangan lupa berangkat pagi!" seru Kevin mengingatkan.
Pijar hanya memberi isyarat ujung jari telunjuk yang ditempelkan dengan jari jempol hingga membentuk lingkaran, lalu mengikuti suaminya turun dan keluar dari kantor.
Selama Bhre menggandeng atau lebih tepatnya menyeret Pijar keluar, Pijar tak banyak bicara. Selanjutnya pun tak ada percakapan di antara mereka. Padahal biasanya Bhre selalu ramai dan cenderung sering menyampaikan guyonan receh.
"Mas, aku bawa mobil." Pijar meringis, berusaha mengurai genggaman Bhre.
"Kamu lelah. Semalam kamu kurang tidur. Biar mobilmu di sini. Besok kamu bisa naik taksi online karena aku ada jadwal operasi pagi." Tak ada senyum di wajah Bhre. Mukanya juga terlihat lelah seolah tak tidur nyenyak.
Tak ingin berdebat, akhirnya Pijar masuk begitu saja ke dalam mobil dan duduk di sebelah suaminya. Keheningan menyapu seluruh kabin. Bahkan lagu dari media player yang sering diputar juga tak terdengar seolah merajuk, enggan memecah kebekuan.
"Mas, kenapa jemput? Tumben ...." Pijar berusaha mencari topik pembicaraan. Namun, suaminya membisu hingga dia kemudian menyerah.
Roda mobil berputar menggilas aspal ringroad Yogyakarta dengan sangat cepat saat pedal gas diinjak kuat-kuat. Saking kencangnya laju mobil yang dikendarai Bhre, Pijar harus berpegangan pada handel di sisi atas pintu. Namun, Pijar tak berani protes. Daripada berdebat di atas jalan raya, lebih baik dia menahan diri.
Akhirnya mobil sampai di rumah dua puluh menit kemudian. Saat Pijar akan masuk, Bhre menggandeng istrinya.
"Sudah pulang kalian? Kenapa lama sekali acara kantormu?" Ibu menyambut di ruang keluarga.
Pijar mengerjap. Setahu Pijar, ibu mertuanya menginap di Kaliurang. "Ibu nggak jadi nginep?"
"Nggak. Tadi ada barengan pulang. Lha kok pulang-pulang, rumah kosong. Nala juga belum bangun padahal udah mau maghrib." Ibu berdecak. "Kenapa kamu nggak ajak sekalian Nala, Le? Kalau acaranya family gathering mestinya ya semua ikut."
Pijar mengernyitkan alis, menatap Bhre bingung. Family gathering?
"Iya, Bu. Takutnya Nala kecapekan karena acaranya sampai malam," ujar Bhre sambil memasuki kamar.
Pijar pun akhirnya mengikuti suaminya. Dia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. "Ada apa, Mas?" Dia meletakkan lebih dulu tasnya di atas meja sebelum menghampiri Bhre yang duduk di tepi ranjang. Lelaki itu mengurai kemejanya hingga menguak kaus dalam putih ketat yang mencetak dada bidangnya.
"Selama Ibu di sini, tolong perhatikan jam pulang." Bhre bangkit dengan wajah kusut, kemudian keluar untuk membasuh badannya
Pijar termangu. Raut Bhre terlihat kuyu. Apa dia mengalami hal buruk di kantor?
Saat Pijar sudah selesai mandi dan memakai krim perawatannya, dia menghampiri sang suami yang sudah berbaring menghadap sisi luar ranjang. Padahal kalau mereka tidur bersama, Bhre selalu mendekapnya.
"Mas ...," panggil Pijar bernada manja. Dia memijat kecil lengan suaminya dan mengecup pundak kokoh itu. Ada rasa bersalah yang menyusup. Entah karena apa ....
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweetheart (Completed)
RomanceDikarunia putri mungil yang menderita penyakit jantung bawaan, membuat Pijar Arunaputri merasa bersalah dan berjanji akan menjadi ibu yang baik bagi Nala Nindita. Dia akan melakukan segalanya demi kebahagiaan sang putri, termasuk menunda kehamilan. ...