Sementara Demi mungkin sedang nongkrong bareng Bart sore itu, aku pergi ke gym fakultas Hukum untuk latihan.
Atas titah Calvin, aku dibebaskan keluar-masuk gym dan menggunakan fasilitasnya sesukaku. Sebagai bentuk rasa terima kasih, kurasa. Dibayar saja sudah cukup sebenarnya, tapi apa kata mereka saja. Bukannya aku bakal menolak kok. Aku juga perlu tempat untuk latihan, dan ketika tadinya aku berencana menyewa gym di tempat bernama Clubhouse, sekarang aku tidak perlu keluar duit sama sekali.
Aku datang langsung dengan kaus lengan buntung dan leg compression. Satu-satunya roster Constantine Cup yang datang selain aku adalah Rafael. Dia bilang Alec sedang mengonsultasikan laporan akhirnya, mungkin bakal datang tapi agak malam, dan seketika aku ingat Demi dan komplainnya soal kuliah. Sepertinya agak berlebihan kalau kubilang itu komplain. Melihat Demi, aku yakin cewek itu sudah berusaha keras, tapi kuliah memang bukan passion-nya. Passion Demi menulis.
Calvin, sementara itu, hilang tidak berkabar.
Sambil menunggu anak-anak lain datang, Rafael dan aku mengobrol santai soal world cup. Tadinya dia mendukung Prancis (aku juga), tapi karena Prancis kalah terus jadinya dia mendukung Kanada (aku juga). Kami mengobrol ngalor-ngidul dari Shai[1] yang hampir meng-outplay semua orang, jagoan kami di 2K[2], sampai menyerempet topik sensitif soal draft[3] tahun ini. Yah, bukan kebetulan first pick-nya orang Prancis[4] dan aku sendiri orang Prancis, tapi aku nggak banyak komentar soal itu, takut salah omong dan membocorkan lebih banyak daripada yang semestinya.
Alec belum juga datang, tapi kami tetap memulai latihan bareng anak-anak lain yang lebih semangat dilatih aku daripada pelatih Gasher sendiri. Kemarin mereka cuma bisa menonton karena aku fokus lomba, tapi sekarang karena ada kesempatan, aku menepati janji untuk mengajari mereka cara bikin counter dan menghindari defender dengan sentuhan drag dribble.
"Look at the gap," kataku, menunjuk sepetak lapangan hardwood yang kosong di belakang Rafael sebagai defender-ku. "Aku ke samping, pelan-pelan aja, dia bakal ngejar aku ke sana..." jadi sekarang aku mundur, "... and shoot..."
Latihan ini benar-benar satisfying.
"Now with the drag dribble." Aku mengkode cowok di bawah ring untuk melemparkan bola yang tadi masuk padaku lagi.
Rafael dan aku mengulangi latihan yang sama di ring lain berganti-gantian sebagai defender dan offender. Situasinya bisa bervariasi, jadi setelah kami sukses dengan satu sekuens, aku meminta Rafael mengumumkan ringkasan sekuens tersebut kepada anak-anak di ring lain untuk direplikasi. Sesekali ada yang berhenti untuk menonton, tapi karena menonton berarti aku memberi contoh, dan memberi contoh berarti menyempurnakan gerakanku sendiri, aku bisa mengulanginya sampai berkali-kali.
Katanya aku keren, tapi sejauh ini aku belum pernah puas menonton game-ku sendiri. Bicara soal basket secara generik, selama bisa menyumbang skor dan tidak melanggar, tidak ada yang bakal peduli soal detail-detail superfisial lain. Tapi olahraga sekarang sudah menjelma menjadi setengah hiburan. Mereka menyuguhkan pertunjukan, dan itu yang bikin aku nggak mau sekadar bisa main. Aku ingin terlihat menyatu dengan lapangan. Aku ingin terlihat versatile, tapi bukan jack-of-all-trades-master-of-none.
Aku ingin membuat semua orang yang melihatku sebelum game percaya aku killing machine-nya.
➖
Enam puluh menit kemudian, aku sudah cukup berkeringat dan capek untuk mendapatkan istirahat yang pantas.
Aku menggunakan sepuluh menit terakhir setelah Rafael capek untuk latihan bank shot sendirian, lalu beristirahat menyelonjorkan kaki di bench. Tadi aku tidur cukup lama setelah mengantar Demi pulang ke indekosnya, jadi mungkin aku tidak bakal langsung tidur sesampainya di vila. Aku bisa nonton film atau main biliar atau apalah. Ya ampun, aku bahkan belum mengeksplorasi tempat ini seperti janjiku. Sepertinya besok aku bakal menghabiskan lebih banyak waktuku di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...