Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (12)
—
"Ke mana aja kalian?"
Sesi warm up-nya diundur sepuluh menit lagi, tapi itu tidak lantas bikin aku terhindar dari semprotan Alec. Cowok itu nggak serius mengomeliku, tapi aku tahu Demi yang bakal jadi korbannya. Lihat saja, sekarang Alec sedang menebak-nebak di mana kami begituan. Yang. Benar. Saja. Saat ini Demi sedang menggunakan toilet untuk memperbaiki rambutnya, jadi aku bersyukur dia nggak perlu mendengar lelucon jorok Alec yang insensitif.
Rupanya Gasher berjodoh dengan IDNZ, tim yang kubilang mainnya bagus kemarin. Sama seperti Gasher, mereka juga gelisah menunggu lapangan selesai dipel. Demi kembali saat teknisinya mengacungkan jempol pada DJ, dan kemudian, setelah membenturkan tinju dan bahuku padanya, pelan-pelan saja, tiba giliran kami mengetes lapangan. Di Betclic Elite pemanasan seperti ini dianggap cukup serius, tapi di sini tidak terlalu. Belum satu menit aku membiasakan diri dengan ringnya, kami sudah disuruh gantian dengan IDNZ.
Plus-nya jadi tim yang disegani, panitianya lebih peka terhadap keberadaan Demi sebagai cheerleader-ku. Kalau kemarin dia harus duduk menyempil di sela-sela ketiak penonton lain, sekarang dia diberi semacam kursi khusus, yang tadinya cewek itu tolak mati-matian, tapi langsung pasrah begitu aku yang mengangkatnya dan mendudukkannya di atas kursi itu.
Kubilang, "Kamu nggak mau leherku kepelintir gara-gara aku nggak bisa lihat kamu di tribun kan?"
Sorot mata Demi penuh horor.
Aku mendengus pelan.
Yang bikin hari ini lebih berwarna—selain making out di mobil tadi—adalah Calvin berhasil menang suit, jadi kami nggak perlu memakai jersey dobel menutupi jersey gratisan yang dibagikan pihak Invitational. Aku tentu nggak serius soal bilang pakai jersey tambahan merupakan keuntungan karena nggak pakai tambahan jersey jauh lebih efisien. Sepeser gram pun bermasalah menyangkut profesionalitas.
Lagi pula, kedinginan bikin aku tetap melek setelah dibikin mengantuk oleh Demi.
Tiba-tiba aku merasa bersalah.
Sejorok itukah pikiranku sebagai cowok? Menarik Demi ke mobil cuma untuk mengajak cewek itu bersenang-senang? Setidaknya berikan dia sesuatu kek.
Kemenangan, misalnya.
Aku nggak yakin Demi bakal sesenang aku (Gasher apalagi) kalau kami menang, tapi dia cukup suportif selama ini. Paling tidak jangan buat mood-nya jelek dengan under-perform dan kalah sebelum final.
Bukannya aku bakal kalah setelah final.
Pada titik ini, dapat skor setelah peluit berbunyi sudah menjadi rutinitas yang sedikit-banyak bikin aku takut ditempeleng kenyataan di Paris. Calvin juga mulai terbiasa dengan gameplay barbarku. Aku memang sengaja merapatkan intensitas supaya dia nggak terus-terusan berdiam di spot yang sama. Kalau dia memang mau jadi shooter, jadilah shooter yang seperti Drew. Orang seperti Drew pasti sudah pernah bercumbu dengan lantai lapangan sampai-sampai hafal jarak dari setiap jengkalnya ke ring.
Yah, meski begitu urusan remeh-temeh nge-shoot tetap saja diserahkan padaku.
Untungnya aku belum pernah miss selama bolanya tidak diblok. Mau diblok juga bagaimana, wingspan pemain-pemain di sini pendek-pendek, dan vertikalnya barangkali nggak sampai dua puluh inci, sedangkan rekor tercatatku 43. Argh! Benar-benar tanggung! Punya Ja Morant 44 inci, sementara rekor tertinggi selama di NBA 48 inci, punya LeBron[1]. Aku optimis pernah mencetak lebih dari itu selama di Basalt, tapi apa daya tidak ada yang peduli pada statistik di sini. Kami cuma main liga jalanan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomantikSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...