Aku menunggu telepon dari Demi malam itu, tapi tidak ada satu pun panggilan masuk kecuali pesan-pesan dari Ve yang sudah kuabaikan sejak minggu lalu.
Lawan Gasher di semi-final adalah Constantine, tim penyelenggara. Mereka mengutus dua tim di kategori cowok, tapi tim pertama sudah kalah melawan Feels Good Inc. kemarin. Tersisa empat tim yang bertanding di semi-final: Gasher, Constantine B, Feels Good Inc., dan Renaissance. Prediksi Calvin kami bakal melawan Renaissance di final. Itu akademi paling terkenal di sini, dan kebanyakan pemainnya, kalau beruntung, bisa diambil untuk trial ke tim nasional, seperti Daniel. Sepupuku masuk Renaissance setelah timnya sendiri bubar, dan sisanya sudah diceritakan oleh Marki.
Malam sebelum hari kedua turnamen, Daniel bertanya berapa size sepatuku, setelah melihat kondisi sepatuku sendiri yang menyedihkan, dan secara mengejutkan ternyata sepatu kami seukuran. Tebak sendiri kelanjutannya. Setengah pamer, Daniel mengajakku untuk melihat-lihat lemari sepatunya, lalu membebaskan aku memilih mana pun yang aku suka. Aku memilih sepatu Hot Wheels-nya Paul George, berhubung jersey Gasher juga warna merah.
"Sepatuku banyak yang lebih bagus," Marki menimbrung dari pintu masuk saat Daniel dan aku menggeledah lemarinya seperti orang keranjingan, "tapi lebih kecil satu size dari Daniel."
Marki benar. Koleksi Marki bahkan lebih gila lagi, tapi karena kekecilan satu size, aku mencari yang aman-aman saja.
Aku berangkat dari vila Marki pukul empat sore. Sambil menyetir, aku berpikir apakah Demi akan menepati janjinya untuk datang. Cewek itu belum meneleponku. Mungkin tisunya terbang saat cewek itu ngebut di jalan? Yang benar saja. Lagi pula, kenapa aku harus peduli? Aku, kan, ke sini untuk main, dan ini hari terakhir. Kalau Gasher menang, malam ini aku bakal jadi orang kaya.
Karena Gasher main pertama, kami juga kebagian sesi warm-up duluan. Aku mengetes ring untuk membiasakan diri, nge-shoot dari lima sudut yang telah kutentukan. Panitia tidak memberi waktu terlalu lama. Selesai warm-up, kami kembali ke ruang ganti untuk bersiap-siap sebelum dipanggil lagi. Calvin, Alec, dan Rafael sudah duluan karena mereka bertiga perlu menggunakan toilet, sementara aku tertinggal di belakang seorang diri.
Saat itulah aku melihat Demi di tangga, menatapku seperti cewek itu sedang merencanakan cara terbaik untuk menyantapku utuh-utuh.
Dia berdiri saat aku sudah dekat, lalu menengadah agar kami bisa bertatapan.
"You came," kataku.
Demi mendengus. "Kan, kamu yang minta."
"I appreciate that," kataku lagi, dengan tulus kali ini. "Kamu sendirian?"
"Bisa mati aku kalau dateng sama Bart."
Aku tertawa. "Jangan mati dulu," ujarku. "Aku belum dapet hadiahku."
"Yah," kata Demi, dan lagi-lagi pipinya memerah. "Good luck."
Aku membungkuk.
"Kamu ngapain?" Demi mengerutkan hidungnya, mengambil satu langkah mundur.
Aku menunjuk pipiku. "Ciuman keberuntungan?"
"Kamu childish banget," komentarnya. "Kukira orang-orang dari negara maju nggak suka hal-hal cringe kayak gitu."
"Oh, I eat that shit up," aku terkekeh kecil, lalu menyodorkan pipiku lagi. "Sekali aja? Please?"
Ciuman itu hanya satu cup yang lembut, dan aku yakin Demi melakukannya karena terpaksa, meskipun sekarang dia berubah jadi semerah tomat, tapi entah kenapa aku juga merasa seperti ada sesuatu yang membakar di dalam perutku. Aku menyentuh bekas ciuman Demi, lalu tersenyum dan mengedik ke arah Rockingdown.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...