23. Dunk on Your Ex

2.3K 119 58
                                    

Vote? Huehehe. (  ͡° ͜ʖ ͡°) (8)

Lesson learned.

Aku dibantai habis-habisan malam itu. Drew menepati janjinya untuk tidak nge-poor, tapi nyatanya di By the Beach saat kami ketemu pertama kalilah cowok itu nge-poor. Bedebah. Sisi terangnya, aku mendapat banyak pelajaran dari analisis Drew. His game IQ is out of this world. Drew dan aku sama-sama capek meskipun dia menang telak, dan dia mentraktirku makan sambil kami ngobrol-ngobrol soal basket di Prancis selesai 1v1.

Aku bersyukur Invitational tidak diselenggarakan pagi-pagi seperti Constantine Cup. Aku ikut Marki dan Daniel sarapan setelah nge-skip gym. Marki rupanya tahu semalam aku pergi, dan saat kubilang aku pergi untuk ketemu Drew, kedua sejoli itu kontan tersedak.

"I told you your gameplay is getting rotten," Marki memanas-manasi Daniel. "And this kid knows."

"I'm on an off season break, Jesus!" Daniel mengerang.

"And Faux is curled up somewhere behind his lawyer's desk," balas Marki. "Oh! Jaime, how do you say F-A-U-X? Diam, Niel, I'm gonna squeeze the French out of him."

"It's foo," kataku.

Daniel mendengus. "Segitu nggak percayanya kamu aku bisa bahasa Prancis, Marki baby?"

Sesiangan itu kuhabiskan dengan mondar-mandir gelisah di vila Marki. Demi minta dijemput saat aku sudah benar-benar siap, fisik dan mental, dan itu artinya satu jam sebelum game. Mengenal Demi lebih jauh, aku tahu sebetulnya cewek itu cuma kepengin mandi dan mengeriting rambutnya lama-lama, tapi entah kenapa waktu berjalan sangat lambat hari ini. Aku sempat ketiduran antara jam satu sampai jam dua, lalu bangun karena mimpi yang agak aneh; aku tersangkut di ring saat mencoba memasukkan diriku sendiri. Bangun tidur, aku mandi sebelum menyambar ransel yang telah kusiapkan sejak semalam, lalu menyetir ke indekos Demi.

Demi sudah menunggu di paviliun sesampainya aku di indekos. Kami tidak membuang-buang waktu lagi karena game dimulai dalam satu setengah jam. Setelah kesulitan menemukan spasi untuk parkir, kami akhirnya turun dari mobil dan naik ke Rockingdown, menuju ruang ganti.

Kalau Demi terkejut sampai mematung melihat Bart duduk di ruang ganti yang sama dengan Gasher, maka aku dengan bangga berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk mendeklarasikan kalau Demi dan aku sudah berkomitmen untuk hubungan yang lebih serius.

Kuraih pinggang Demi, menggendongnya, dan cuma tertawa puas saat cewek itu memukul-mukul punggungku panik. Mendadak aku lupa soal Bart dan mulutnya yang terbuka lebar seperti terowongan RER. Aku hanya peduli pada cewek yang meronta-ronta di pelukanku.

Aku masih tertawa saat menemukan meja Gasher di dekat kamar mandi, Calvin dan Alec sudah di sana, lalu menurunkan Demi di atas pangkuanku.

"Kamu itu childish banget!" Demi mulai mengomel.

Aku cuma tersenyum. "Sorry, babe." Aku mengecup pelipisnya. Yeah, omeli saja aku terus. Demi nggak tahu apa-apa kalau saat dia mengomel adalah saat-saat yang paling menggairahkan.

Demi bersedekap. "Iya juga," cewek itu bergumam. "Kadang aku lupa kamu masih 18. Cowok, lagi. Hah! Mimpi apa aku pacaran sama anak kecil."

Senyumku bertambah lebar.

Yah, paling tidak sekarang Demi sudah berpikir kami betul-betul pacaran.

Demi menggelosor turun dari pangkuanku, tapi duduk tidak terlalu jauh. Sebisa mungkin cewek itu meminimalisir kontak mata dengan Bart yang sudah curi-curi pandang ke arah kami. Curi-curi pandang agak terlalu generous kurasa, karena cowok itu secara harfiah melotot. Mau marah pun tidak bisa karena mereka sudah putus. Aku merangkul Demi, sengaja meletakkan tanganku di sisi tubuh cewek itu, persis di bawah dadanya.

Scream & ShoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang