Pacar Demi tidak kelihatan batang hidungnya sepanjang sisa turnamen hari itu. Sementara Gasher terus-terusan winstreak dan menjadi pemenang pool A, aku masih bertanya-tanya apakah pacar Demi betulan bermain tadi.
Turnamen cowok hari pertama berakhir sebelum matahari terbenam lantaran malam-malam lapangannya dipakai untuk kategori cewek. Kutanya Calvin kenapa cewek-cewek disuruh main malam, dan Calvin bilang kalau di Indonesia cewek-ceweknya tidak suka kena matahari. Mataharinya juga tidak se-friendly di luar negeri. Constantine, akademi penyelenggara turnamen ini, ingin semua orang bisa main maksimal, termasuk cewek-ceweknya. Aku mengerti. Meskipun aku sempat main jam dua tadi, ternyata aku tidak kepanasan seperti yang kubayangkan.
Gasher dan aku berpisah di basemen parkir Rockingdown. Calvin mengantar Alec dan Rafael pulang dengan Jeep-nya, sedangkan aku pulang sendiri dengan convertible Daniel. "See you tomorrow, guys!" kataku. Menghabiskan waktu seharian di Rockingdown bersama ketiga cowok itu membuat kami lumayan akrab. Di Paris, aku tidak bicara sesopan ini kepada teman-temanku, tapi aku pendatang di sini, dan selain Calvin, Alec dan Rafael tidak terlalu lancar bahasa Inggris. Masalahnya, aku juga tidak lancar bahasa Indonesia. Aku tahu diri kalau mereka memang lebih nyaman bicara dengan bahasa Indonesia.
Menyeret langkahku, aku berjalan menyusuri basemen parkir yang temaram. Tadi aku memarkirkan convertible-ku di F7, tapi Rockingdown agak ramai malam ini. Akhirnya, setelah membaca satu per satu pilar yang dicat dengan kode angka dan huruf, aku menemukan mobilku terhimpit dua jip besar mirip tank. Oh, thank God. Menyetir mobil Daniel bikin aku agak paranoid. Kalau mobil ini hilang? Bunuh saja aku.
Aku tidak jadi masuk ke dalam mobil saat kepalaku tidak sengaja melongok ke arah tempat parkir motor. Ada semacam dinding pendek yang menjadi separator di antara tempat parkir mobil dan motor, dan di balik separator itu, aku menangkap sekilas rambut cokelat Demi dari kejauhan.
Kututup pintu mobilku lagi, lalu menekan remote untuk menguncinya. Demi sedang mengobrol bareng pacarnya, tapi ada yang ganjil dari pemandangan itu. Pacar Demi memakai helm, dan setelah beberapa lama aku bersandar pada pilar, melipat lengan, cowok itu menstarter mesin motornya, lalu meninggalkan Demi sendirian di basemen parkir.
Aku tidak tahu apakah pacar Demi memang tolol atau ini cuma lucky star-ku. Mungkin dua-duanya, tapi persetan soal itu. Segera aku berlari menyeberangi basemen parkir, menyelinap di antara akses sempit yang menghubungkan tempat parkir mobil dan motor, lalu mengendap-endap di belakang punggung Demi seperti penguntit.
Cewek itu mengibaskan rambut panjangnya ke belakang, dan dengan cepat aku menggenggamnya di sekeliling pergelangan tanganku untuk menginformasikan kalau dia tidak sendirian.
"Aw!" Demi mengerang, lalu berputar dengan mata melebar, kaget. "Kamu!" Dia menepuk dahinya. "Stop bikin aku kaget!"
Aku tidak menghiraukan Demi. Aku menatap loket karcis di pintu keluar. "Tadi itu cowokmu?" tanyaku.
Pipi Demi sontak memerah. Menggemaskan. "Kalau iya, memangnya kenapa?" Dia melakukan itu lagi, melipat kedua lengannya. Tank top Demi yang ini agak tertutup, jadi aku tidak mendapat sneak peek payudaranya seperti waktu itu di Dooms-Day. "Fuck off, Guichard, urusan kita udah selesai, aku nggak bakal nulis soal pekerjaanmu!" Demi mendesah. "Aku juga bukan penulis terkenal. Aku cuma nakut-nakutin kamu supaya aku punya alasan untuk bikin deal itu."
"Kenapa?" desakku. "Kenapa kamu mau bikin deal itu?"
Demi merapatkan bibirnya.
Aku menyeringai, lalu bersandar pada salah satu motor yang kelihatannya cukup besar untuk menopang bobot tubuhku. "Let me guess," ujarku, tidak bosan-bosannya menatap cewek itu. "His dick game poor?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
Storie d'amoreSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...