INDONESIA
2 0 2 3—
Ada dua jenis turnamen di dunia ini yang tidak bisa dicampuri joki sepertiku: NBA (of course), dan turnamen apa saja yang timnya harus di-screening lebih dulu.
Wajahku tidak akan bisa ditemukan di turnamen-turnamen seperti itu. Aku hanya bisa bermain di turnamen-turnamen jalanan. Tapi sampai saat ini aku belum bisa melihat di mana salahnya. Malah, ada yang lucu dari fakta tersebut. Suatu kali, satu tim di Thailand pernah menyewa jasaku, dan karena tim itu menang, mereka dapat satu kesempatan gratis scrimmage dengan para pro player. The result? Tim jalanan itu menang, karena mereka menambah bayaranku untuk main satu game lagi.
Aku langsung pergi dari Thailand hari itu juga karena tidak bisa meng-handle secondhand embarrassment dari para pro player di sana.
Aku tiba di Indonesia pagi hari, lalu memesan Uber untuk mengantarku ke rumah Daniel, sepupuku, yang akan kutempati selama aku mencari mangsa di sini. Daniel tinggal dengan tunangannya, tapi rumah itu lebih sering kosong karena Daniel pemain basket di liga profesional. Dia cuma sedang liburan, dan kebetulan ada sepupunya (aku) yang ingin mampir untuk melihat-lihat. Tempat ini sebetulnya kampung halaman Maman, tapi Maman dan aku sudah tidak pernah ke sini sejak aku tujuh atau delapan. Aku menghabiskan seumur hidupku di Paris, bicara bahasa Prancis, dan tidak pernah peduli pada tempat bernama Basalt ini. Satu-satunya yang bikin aku peduli, dan bikin aku pengin mengunjungi tempat ini, hanya budaya basketnya.
Aku penasaran sejago apa pemain-pemain di sini, dan apakah jasaku akan laku seperti di Thailand dan Vietnam.
Uber-ku berhenti di depan sebuah rumah besar yang lebih mirip kastil daripada rumah. Aku sendiri tidak yakin apakah Daniel memberiku alamat yang benar karena driver-nya bertanya padaku, "This one? The place?"
Dan karena bahasa Inggrisku pun nggak bagus-bagus amat, aku hanya mengiakan saja, lalu memberikan uang sejumlah yang tertera di argometer.
"Makasih," ucapku dengan bahasa Indonesia yang juga belepotan, lalu melompat keluar dengan ransel kucangklong di satu bahu.
Aku menelepon WhatsApp Daniel seraya menekan bel di gerbang, tapi sebelum panggilanku tersambung dengan Daniel, kepala seorang cewek muncul di balik gerbang, dan saat gerbang itu terbuka, aku terkejut karena itu cewek yang sangat tinggi.
"Hoo-boy..." katanya, memindai penampilanku, lalu mengayunkan tangannya ke bagian dalam rumah, halaman depannya, maksudku. "Come in, come in, you're Jaime, right?"
"Yeah," jawabku, lalu masuk mengikuti cewek itu ke dalam.
"Aku Marki," kata cewek itu, "pacarnya Daniel. Daniel masih mandi. Tapi kamarmu udah disiapin."
"Do you speak French?" tanyaku.
"Oui," kata Marki. "Baguette avec des legumes, tres bon! Tous les jours! Nah, gimana?"
Cewek nggak jelas.
Sudah jelas Marki cuma menjelaskan menu sarapan pagi ini padaku, karena saat kami melewati meja makan, sudah ada roti-rotian dengan isian yang mendadak kelihatan enak karena hal terakhir yang kutelan adalah sup mi di Vietnam.
"Breakfast?" Marki menawarkan, dan saat cewek itu menarik kursi, aku langsung duduk di sana. "Little boy is starving, I see." Cewek itu mengangguk-angguk, lalu membawa ranselku ke sofa dan menarik kursi di kepala meja. "Sambil nunggu Daniel selesai mandi, mendingan kita kenalan dulu," katanya. "Aku Marki. Dulu aku temen setimnya Daniel sebelum dia dicomot jadi rookie ke Jakarta. Katanya kamu juga pemain basket ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
عاطفيةSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...