Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (5)
—
[⚠️]
—
Destinasi kedua dalam itinerary untuk bermalam: cottage kecil di atas teluk yang menyediakan sarapan.
Tidak ada alasan khusus kenapa aku ataupun Demi menginginkan sarapan, tapi kami sama-sama setuju kalau dapur penginapan yang bersih menandakan penginapan yang terawat. Kami cuma bakal tidur bareng, cuddle a little (or more), lalu pulang ke Basalt besok pagi. Tidak ada yang spesial. Cuma caraku untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Demi.
Di luar penginapan ada restoran kebab kecil, jadi setelah mandi, Demi dan aku makan malam di situ, lalu kembali ke penginapan untuk tidur. Cottage itu sebenarnya tidak jelek. Satu-satunya yang membuatku tidak nyaman cuma langit-langitnya yang rendah, tapi kasurnya empuk, pemandangannya bagus, dan ada bathtub di dalam kamar mandi.
Sehabis menggosok gigi, Demi melompat ke kasur dan bergabung di balik selimut bersamaku. Aku minta diajari main game yang dia klaim sebagai terapinya, game pencet-pencet itu. Sebenarnya, aku tergoda ketika Demi bilang game itu bikin tanganku anti-licin. Sebagai pemain basket, tangan yang tidak licin adalah kriteria utama agar bola tidak gampang dicolong musuh, tapi game itu ternyata lebih sulit dari dugaanku, apalagi setiap lagu ada tingkat kesulitannya sendiri-sendiri.
Capek main game, aku mengajak Demi tidur meskipun aku juga skeptis bakal langsung terlelap saat Demi secara harfiah berbaring di sebelahku. Cewek itu merapat, lalu menyurukkan kepalanya ke dalam ketiakku, hidungnya mengendus-endus dadaku yang terekspos.
"Apa temen-temenmu juga tidur shirtless?" Demi bertanya sambil mengantuk.
"Tergantung orangnya." Justin selalu tidur shirtless. Josiah harus selalu pakai sweater dan kaus kaki. Sedangkan aku cuma tidur shirtless saat musim panas. Oh, dan selama di Asia. Sumpah. Di sini panas banget. Nggak bohong. Demi bilang Pyxis dingin, tapi tidur dengan kaus di balik selimut agaknya sama saja dengan sauna gratis. "Ngapain nanya temen-temenku?" Aku mengernyit.
Benar-benar, deh. Sepertinya aku harus mengontrol kebiasaan gampang cemburuku. Mau jadi apa aku setelah kami LDR nanti?
"Just asking." Tangan Demi menjelajahi perutku, dari pusar, rambut-rambut keemasan yang lenyap di balik boxer, lalu naik ke dadaku. Aku memerangkap tangan itu sebelum Demi menariknya lagi. "Di mana kamu tinggal, Jaime?" Sekarang dia iseng menarik-narik kalungku. "Di Paris, I mean."
"Di Neuilly," kataku, dan di dalam kepalaku aku memvisualisasikan tempat itu: rumah kecil dua tingkat dengan taman Italia tempat aku bermain basket semasa kecil. Aku masih punya ring pertamaku terinstalasi di dinding gamping yang tinggi. Lapangannya sendiri terbuat dari cobblestone yang sudah retak-retak karena keseringan kena bola.
"Neuilly?" kata Demi.
"Neuilly-sur-Seine?"
Demi menggeleng muram. "Aku tahunya Sungai Seine."
"Yah, rumahku di tepi Sungai Seine." Tidak begitu sih persisnya, tapi rumahku sangat dekat dari Sungai Seine. Bukan Sungai Seine yang di sebelah Menara Eiffel, tapi Sungai Seine di bagian Paris yang lebih barat lagi. "Kamu harus ke sana," aku menambahkan. "Aku bakal jadi tour guide-mu selama di Paris." Aku belum pernah pesiar romantis di atas Sungai Seine, tapi aku dengan senang hati bakal mencobanya bersama Demi.
![](https://img.wattpad.com/cover/348423931-288-k7299.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...