Lima hari lamanya aku latihan di gym fakultas Hukum. Gym itu dilengkapi ring kembar yang bikin aku tidak perlu latihan bareng anak-anak Gasher lain kecuali empat orang yang akan main di Constantine Cup.
Sekarang aku mengerti kenapa Gasher perlu bantuanku. Rapor atletik Calvin benar-benar jelek. Dia gampang capek dan gaya hidupnya tidak teratur. Timku di Paris mengatur diet-ku, dan setahuku pelatih Gasher juga mengatur diet pemain-pemainnya. Tapi karena Calvin kaya dan merasa bisa seenaknya sendiri, cowok itu tidak pernah menuruti perintah pelatihnya.
Luckily it's none of my business. Gasher cuma perlu pialanya kan? Aku bisa mengatasi itu sendiri. Nggak akan kubiarkan winstreak-ku pecah di sini.
Hari H, aku diantar Calvin ke ruang ganti untuk berganti jersey dan sepatu. Aku tidak tahu jersey siapa yang kupakai, tapi aku meminta nomor 7, nomor keberuntunganku. Jersey itu pas, untungnya.
"Kita dapat giliran main kedua," Calvin mengumumkan, "habis game ini selesai, kita langsung turun."
Dua rekan setim baruku yang lain adalah Alec dan Rafael. Alec dimainkan belakangan karena aku masuk, sedangkan Rafael masih di pos 5. Sebenarnya aku lebih tinggi dan buff daripada dia, tapi Calvin menyayangkan kalau pemain sepertiku hanya dibiarkan mendekam di bawah ring. Aku terpaksa setuju. Di mana-mana aku pasti main forward. Cuma orang tolol yang menyuruhku main 5.
Saat warm up, aku mengetes ringnya sambil nge-dunk, memastikan cincinnya cukup kuat kalau-kalau kugenggam terlalu keras.
"Udah kayak Ja Morant[1] dia," komentar Alec.
Tahu saja dia aku ingin mengangkangi kepala semua lawanku dan mencetaknya jadi pajangan es.
"Enak sih aku tinggal rebound-rebound sama pasang badan aja," Rafael nyengir. "Kan ada Lord Jaime."
Lima menit menjelang akhir game, Gasher sudah bersiap di pinggir lapangan, menunggu game pertama selesai. Aku tidak terlalu memperhatikan game itu karena mataharinya lumayan terik. Ini mungkin bikin aku kedengaran cengeng, tapi kalau boleh jujur aku jelas memilih main indoor ke mana-mana. By the Beach oke untuk selingan, dan view-nya, nggak bohong, memang keren. Tapi selain itu, meh. Kontur lapangannya tidak mulus, bola rawan terlempar ke perairan, dan mataharinya bersinar dengan agak terlalu terang. Aku juga salah bawa sepatu. Sepatuku lebih enak dipakai main indoor, tapi sebentar lagi season baru NBA, jadi aku harus menahan diri sedikit lebih lama sebelum membeli yang baru.
But that's okay. Empat bulan di Asia telah membentukku. Aku bahkan yakin aku lebih kuat sekembalinya aku ke Paris. Aku tidak sedang membicarakan lawanku, karena selama empat bulan ini aku belum pernah kalah, tapi di mana aku bermain. Gym sempit, lapangan yang lantainya retak-retak, ring yang miring dan berkarat, dan, terakhir, beachfront court. Serius, rasanya seperti sedang main RPG, bedanya RPG yang ini nyata.
Lawan pertama Gasher hari ini adalah tim bernama Vusion. Kata Calvin itu tim lemon. Mungkin maksudnya tim dadakan atau tim yang tidak punya reputasi. Aku bisa melihat senyum Calvin nyaris membelah wajahnya menjadi dua.
Diam-diam aku bergidik. Kalau ada orang seperti Calvin di Paris, aku pasti sudah melaporkannya kepada pelatihku karena cowok itu punya gejala psikopat. Dengan kata lain, saat ini aku mungkin sedang membela tim villain. Tapi mana ada joki yang mengukur moral kliennya? Joki, ya, joki saja. Selama ada uang, jasaku selalu ada.
Gasher dan Vusion menempati posisi masing-masing di lapangan separuh, dan sementara bolanya dipegang Calvin, aku sempat open sebentar dan melirik ke arah tribun. Aku tahu ada yang tidak beres jika perhatianku sudah tidak tertuju ke lapangan, makanya aku nggak terkejut saat menemukan Demi di tribun, memberikan botol minum kepada seorang cowok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomansaSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...