14. Le Conseil de Sniper

2.4K 159 107
                                    

Thank you yang udah vote.

Aku baru saja mengecek jadwal season.

Sesuai janji, aku sudah melewatkan satu bulan tanpa bermain. Hari-hari terasa semakin dekat menuju kepulanganku ke Paris, tapi aku tidak yakin benar-benar bakal dipakai selama sisa season. Mereka kira aku perlu waktu lebih lama setelah sembuh dari cidera. Nyatanya, aku malah minggat dari rumah. Teman-temanku tahu ini. Pelatihku pun sepertinya tahu. Aku beruntung mereka tidak ambil pusing selama aku melakukan hal-hal berguna saat off season.

Yah, mungkin statistikku terlihat bolong-bolong dan aku tidak ikut paket nge-gym high performance seperti teman-temanku, tapi diam-diam aku mengoleksi trofi juara dari seluruh dunia.

Dude, I really sound vile.

Aku seperti orang dewasa yang menggunakan wastafel anak-anak. Aku kedengaran curang. Aku tidak pernah berusaha menyembunyikan identitasku, tapi aku cukup lega karena kelihatannya tidak ada yang sadar kalau aku bukan pemain biasa.

Kontrakku masih satu tahun lagi. Manajemen klub perlu waktu pertimbangan yang sangat lama sampai mereka setuju kalau aku boleh main sambil kuliah. Teman-temanku tidak ada yang kuliah, itu masalahnya. Mereka sangat suportif dengan keputusanku pergi ke universitas, tapi mereka juga mengancam kalau mereka tidak akan mengampuniku jika aku lebih pilih kuliah ketimbang main basket.

Hell if I would.

Selama berbulan-bulan, dimulai sejak hari aku menyampaikan keinginan Maman pada pelatihku, aku berpikir untuk pindah ke klub yang cenderung pro Maman. Hanya saja, aku lalu berpikir, cuma itu satu-satunya alasan aku pindah. Klubku sekarang sudah membesarkan namaku dan memberiku kesempatan untuk main di tim senior. Aku tidak tahu siapa yang lebih pantas mendapatkan ucapan terima kasih, Maman atau klubku, tapi dua-duanya sama-sama penting.

Lalu, persis kemarin, aku menerima e-mail itu.

Aku boleh main sambil kuliah.

Dan mendadak, semua kegalauanku beres hanya dalam satu e-mail singkat.

Kupikir begitu sebelum aku tiba di Basalt. Coba saja kalau aku bisa main sambil kuliah, hidupku bakal tenteram, begitu pikirku. Tapi Demi mengubah segalanya. Tidak dalam cara yang buruk. Dia satu-satunya cewek yang pernah menjalin hubungan long-term denganku. Aku tidak pernah pacaran lama. Jadi mau tidak mau aku berpikir kalau memang ada sesuatu yang spesial darinya. Selain karena dia cantik, tentu saja.

Aku menyayangi Demi, dan aku tidak bisa memikirkan berada terlalu jauh darinya.

Belakangan kusadari kalau aku hampir tidak pernah main di By the Beach kecuali saat Constantine Cup bersama Gasher.

Sebenarnya aku agak penasaran dengan lapangan itu. Keberadaannya terlalu ganjil. Kenapa three on three? Kenapa di pinggir pantai? Kenapa di belakang mal? Pertanyaan terus bermunculan di benakku selama aku menyetir ke Rockingdown, tapi pintu masuk ke basemen ternyata sudah ditutup, alhasil aku diarahkan oleh bapak-bapak yang sedang merokok di pinggir jalan untuk parkir di dekat pantai.

Keluar dari mobil, aku melihat plang penanda bertuliskan Court by the Beach dengan tanda panah mengarah ke kiri. Aku melewati jalur konblok yang biasanya dilalui sepeda dan kereta makanan sore-sore. Tidak ada satu pun penerangan di pantai, tapi di kiri-kanan Rockingdown adalah resor dan beach club yang sedikit lebih private daripada Blue Reef. Mereka bukan beach club yang menawarkan experience, jadi tamu yang datang adalah orang-orang tua dengan anak-anak atau pasangan kekasih yang ingin momen berdua.

Scream & ShoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang