17. Somebody to You

5.7K 249 89
                                        

Vote? Huehehe. (  ͡° ͜ʖ ͡°) (2)

Sejak sesi revelation yang berakhir dengan make out sesh di mobil itu, Demi tidak pernah berhenti menggoda soal foto-fotoku yang beredar di Google.

Katanya aku lebih cocok jadi artis daripada pemain basket. Demi cuma bercanda, tapi setelah kulihat-lihat lagi, fotoku memang yang paling bagus di antara teman-temanku. Sekarang kutanya, kenapa pose pemain basket dalam photoshoot itu-itu saja? Sedikit membungkuk, mata menatap kamera, bola di-dribble bergantian di tangan? Opsi kedua: pose pegulat dengan bola dikepit di pundak? Kenapa cuma aku yang memegang bola itu dengan normal di atas satu tangan dan tersenyum menatap kamera dari balik bahuku?

Aku tidak bisa menyalahkan Demi kalau dia memang berpikir fotoku outlier di antara foto teman-temanku.

"Itu photoshoot buat FIBA," aku mengeluh. "Aku juga nggak tahu kenapa itu yang muncul pertama kalau namaku di-search."

"Pantesan yang follow kamu model semua," Demi bersiul, "ternyata kamu yang paling ganteng di antara temen-temenmu."

Aku sudah capek mendengar omong-kosong itu dari semua orang yang melihat foto full squad-ku, dan sekarang Demi ikut-ikutan bikin aku uring-uringan.

Just joking. Demi tidak bikin aku uring-uringan seperti itu. Dia bikin aku gemas, itu saja.

Bagian yang menyenangkan, Demi ternyata jauh dari kata tidak mengerti soal basket di Prancis. Aku tidak perlu repot-repot menjelaskan ulang karena dia sudah lebih dulu mencaritahu soal teknisnya secara umum dan deretan klub yang bermain. Demi mengaku kalau dia sampai tidak tidur karena kaget profilku bisa diakses dengan mudah di internet.

"Kebanyakan pemainnya udah ikut youth program sejak kecil, kan?" Kubilang yeah, aku juga sudah direkrut sejak kecil. Aku ditemukan di turnamen yang diikuti bocah-bocah SD. Aku dirawat dan diajari main basket sampai mampus sejak hari itu. "Terus, CV-mu itu buat apa?"

"Iseng doang," jawabku. "Siapa tahu aku mau minggat betulan dari Prancis." Mana mungkin, kan, aku gembar-gembor kalau itu coret-coret untuk NBA.

Tapi kemudian Demi bilang, "Karirmu itu udah deket banget sama NBA, Jaime."

"Hmm." Aku sengaja menghindari tatapan Demi karena cewek itu pasti bisa membaca ekspresiku seperti buku.

"Jadwalmu penuh banget. Nggak ada yang bolong. Aku udah cross-check sama jadwal season kemarin. Kamu main terus."

Shit. Tahu dari mana dia cara mengecek jadwal season yang sudah lewat?

Aku mengaduk-aduk smoothie pisangku tanpa semangat. Demi dan aku sedang nongkrong bareng di 25/7, tempat favorit kedua cewek itu setelah Stratton. Dia tahu aku sudah muak melihat kafe dan minum kopi di Prancis, jadi sekarang dia mengajakku makan smoothie karena katanya aku harus menjaga kondisi sebelum pulang ke rumah. Diingatkan soal pulang bikin mood-ku anjlok. Tapi smoothie pisang ini enak. Dan Demi cantik. Sudah satu jam aku menatapnya. Aku tidak tahu apa yang harus kutatap saat aku pulang nanti. Masa ring basket? Itu, kan, mandatory.

Meskipun obrolan kami belakangan jadi semakin dekat dengan rumah, aku tetap menikmati menunjukkan kepada Demi soal kehidupanku sebelum aku melabeli diriku sendiri sebagai Jaime si Joki. Aku memperlihatkan video-video pribadiku latihan di gym bersama teman-temanku, liburanku ke Mauritius, lalu foto-foto tidak penting lain yang sudah bikin Demi penasaran sejak lama. Hidungku semakin kembang-kempis karena cewek itu bilang aku cuma sok garang di luar, padahal aku aslinya lebih murah hati daripada Bart. Mau melihat foto kecil Bart saja Demi harus mengemis-ngemis.

Scream & ShoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang