Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (4)
—
Menggunakan itinerary yang sama, aku merencanakan ulang short getaway bersama Demi sebelum pulang ke Paris.
Kami bakal mengunjungi secret beach itu lagi, tapi Demi membuatku berjanji kalau aku tidak boleh ngambek di tengah jalan karena dia benar-benar ingin pergi ke pantai. Aku meminjam banyak sekali barang dari Daniel. Tikar, keranjang, gelas wine, anggur putih. Demi juga membawa buku untuk dibaca. Kami seperti pasangan-pasangan trendy di Pinterest yang menurut Demi "too gen Z" untuk ukuran anak-anak 2001. Padahal Demi juga termasuk gen Z. Terkadang gen Z senior memang suka aneh-aneh.
Sesuai namanya, secret beach itu memang agak, eh, rahasia. Letaknya cukup tersembunyi meskipun Google Maps membuat pantai itu tidak terlalu rahasia lagi. Selain Demi dan aku, cuma ada sepasang suami-istri yang sedang mengajak jalan-jalan anjing jenis shepherd. Kalau menurut Demi Marki dan Daniel sudah uzur, maka suami-istri tersebut sudah jadi abu.
Kami menggelar tikar, lalu menata boks-boks takeaway yang sudah kami pesan lewat drive-through. Kebanyakan makanan Cina, tapi ada juga snack ukuran jumbo dari minimarket. Masih terlalu siang untuk berenang, jadi Demi memutuskan untuk membaca setelah melepas kemeja dan membiarkan matahari membelai kulitnya yang pucat. Aku tergoda untuk menarik tali yang mengikat bikini-nya dan menjilat kulit cewek itu, tapi menonton Demi membaca sambil makan Pringles sebesar selongsong petasan ternyata asyik juga.
"Milky," kataku.
"What?" adalah respons Demi saat aku mengisengi sesi membacanya.
"Kulitmu," jawabku, "kayak susu."
"Is that a compliment?"
What else? Masa aku harus bilang kulitnya bersinar-sinar seperti mutiara? Dia kira aku ini penyair dari mana?
"Don't make that face," Demi menegurku. "Bule biasanya nggak suka kulit kayak aku, kecuali kulit itu punya cewek-cewek di negaranya sendiri."
"I have a type," jelasku, gusar. "Dan maksudku kulitmu creamy. Kayak susu. Kelihatannya enak buat dimakan." Aku menjilat bibir.
Selain kemejanya, Demi masih memakai celana pendek, tapi celana pendek itu sangat minim sehingga aku bisa melihat gundukan pantat Demi yang juicy itu dari sini.
Oh, aku bakal memakannya. Lihat saja nanti. Akan kugigit pantat itu.
"Jangan pegang-pegang pantatku."
Oops.
"Sori," ucapku. "Nggak sadar."
Demi mendengus kecil.
Aku ikut membaca bersama Demi karena buku itu berbahasa Inggris meskipun tidak ingat sedikit pun jalan ceritanya setelah halaman dibalik. Sementara itu, kulit Demi sudah merah-merah karena matahari yang cukup terik. Aku membantunya mengoleskan sunblock di punggung dan belakang paha. Seperti yang sudah bisa ditebak, aku sengaja berlama-lama melakukannya karena kulit Demi tidak boleh diperlakukan dengan kasar. Oke. Bohong. Karena aku suka menyentuh cewek itu. Grr. Sekarang aku harus menunggu sampai Demi berendam untuk menjilat kulitnya. Mustahil aku makan pantatnya yang sunblock-covered itu kalau tidak mau keracunan.
"Mau kuolesin juga?" Demi menyematkan pembatas buku berbentuk hati yang setelah kuperhatikan ternyata kartu pelanggan Starbucks. Aku mengangguk, lalu berbalik agar Demi bisa mengoleskan sunblock di punggungku. "Punggungmu bagus," puji Demi saat ujung-ujung jemari cewek itu memijat sunblock yang lengket di antara tulang belikat, lalu turun di sepanjang ceruk tulang belakangku. Aku bergidik lega saat tangan Demi akhirnya tiba di puncak celana pendek, berbatasan langsung dengan boxer yang kupakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomansaSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...