29. Shooting Stars

4.8K 208 40
                                        

Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (14)

PARIS, FRANCE

2 0 2 4

21h30, l'Accor Arena.

Aku terengah-engah.

Teriakan.

Decit sepatu.

Sambaran cahaya di mana-mana.

Sepertinya aku bermimpi.

Keringatku menetes-netes di atas lantai stadium.

Sejenak aku lupa kalau aku sedang di tengah-tengah game saat melihat banner timku berpendar dan menyala di layar interaktif, membingkai keempat sisi stadium.

Aku di sini lagi.

Aku menengadah.

Di atas, menggantung di langit-langit arena, layar empat dimensi menampilkan statistik masing-masing tim.

Namaku. Nama teman-temanku. Nama lawanku.

Aku benar-benar di sini.

Aku menoleh ke arah tribun.

Semua itu... manusia?

Jantungku mencelus.

Aku benar-benar ditonton 15.000 orang?

Aku tidak pernah benar-benar membaca banner sponsor yang ditampilkan di layar videotron, tapi kebetulan ada satu tulisan yang mendampingi kuadran suporter timku.

Ville d'Art, d'Histoire et de Sport.

Aku merasa seperti ditonton seluruh dunia.

... dan aku...

... menyukainya?

Aku tersenyum.

... dan tersenyum.

Aku benar-benar di sini.

"... Guichard!"

Dan aku sudah menunggu-nunggu hari ini.

"GUICHARD!"

Jadi aku akan memenangkannya.

Aku melepaskan tanganku dari ring.

Aku mendengarnya lagi.

Teriakan dan jeritan di mana-mana.

Namun, kali ini, aku mendengar semuanya. Keras dan jelas.

Mereka meneriakkan namaku.

Aku mendarat di atas lantai arena yang lengang.

Semua orang berada di paruh lapangan yang lain.

Aku menengadah lagi.

92-81.

Di bawah papan skor, timer menunjukkan hanya tiga detik tersisa sebelum buzzer berbunyi.

Sejak kapan tersenyum bikin aku menangis?

Mungkin setelah semuanya berakhir dan aku tahu secara pasti kalau aku sudah memenangkannya.

Tradisi tidak pernah berubah.

Sementara semua temanku berangkulan dan menerima ucapan selamat dari Bourg, aku menangis sendirian di bawah ring setelah menambah 2 poin terakhir untuk Mets.

Tahun lalu hari ini terjadi di Roland-Garros, saat aku melawan Monaco.

Mungkin karena saat itu kami kalah 3-0, aku merasa langit-langit stadium tidak cukup tinggi. Penonton juga ala kadarnya. Itu game yang cenderung lempeng, dan agak mengecewakan.

Aku tidak menangis saat itu juga. Aku sudah di bench sejak kuarter tiga karena cidera. Aku menangis di ruang loker, tapi tidak ada teman-temanku yang tahu.

Tapi hari ini.

Aku ditonton kedua orangtuaku.

Aku ditonton orang-orang di agenku.

Aku ditonton para scouter. Orang-orang yang membantuku selama aku mengikuti training sebelum menghadiri green room.

"Jaime."

Aku mendongak.

Demi mengulurkan tangannya.

"Get up," katanya.

Dan dia.

Aku ditonton oleh dia.

Aku menangis ke dalam lehernya.

Tapi saat dia meraih pipiku dan mengarahkan wajahku yang babak belur padanya, keinginan untuk mencium cewek itu datang begitu saja.

Aku sudah memimpikan hari ini.

Aku sudah memimpikan akan melakukan ini padanya.

Kami berciuman, lagi, lagi, dan lagi, sampai Maman dan Dad datang untuk memelukku, dan Demi tertawa dengan mata basah dan pipi berjejak air mata.

Tapi aku menarik tangannya.

Aku ingin memeluknya ke dalam setiap kebahagiaanku.

Enaknya post epilog sekarang atau kapan nih? 😓

Scream & ShoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang