Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (13)
—
Rasa teh instan di sini sedikit lebih enak daripada di Paris.
Demi bilang itu karena Indonesia punya banyak label teh yang daunnya dipanen dari petani-petani lokal. Sejujurnya, aku sama sekali bukan penikmat teh. Teh bukan pilihanku jika disodorkan kopi atau cokelat panas.
Kecuali saat aku sedang menunggu pesawat dan tidak ada hal lain yang bisa kulakukan.
Aku menemukan mesin pembuat teh otomatis di tengah serbuan mesin pendingin yang membombardir sudut-sudut bandara. Mesin tua itu tampak kesepian dan sendirian. Ketika aku memasukkan selembar rupiah ke dalam pemindai, dia terbatuk-batuk dan menanyakan apa yang ingin kuminum pagi ini, dan kenapa wajahku tampak murung. Aku tidak menjawab langsung, tentu saja, karena itu cuma bikin aku dicap gila. Mesin tua itu berdengung sebentar, mengisi gelas karton dengan teh yang sedikit terlalu panas, lalu nyaris menumpahkan teh itu saat dia menjulurkannya lewat lengan mekanis yang bersembunyi di dalam kompartemen mungil.
"Aku sedih," kataku setelah memasangkan headphone supaya orang-orang yang melihatku nggak mengira aku gila sungguhan. "Habis ini aku LDR sama pacarku. Kita cuma bisa ketemu lewat FaceTime atau Skype sampai musim panas tahun depan."
Aku menghirup tehku dan hampir-hampir menyemburkannya karena temperatur yang menyengat lidah. Belum-belum sudah sial. Bodo amat. Teh ini enak. Manis. Tidak pahit. Rasanya benar-benar seperti teh, tanpa karakteristik lain. Kutempelkan gelas kartonku pada mesin pendingin setelah yakin tidak ada yang melihat, lalu mengobrol dengan mesin tua itu lagi.
"Sumpah, kalau ada orang paling nggak sabaran di muka bumi, mungkin itu aku," aku mencerocos terus. "Aku juga nggak yakin bakal tahan nggak kabur ke sini lagi selama musim semi? Bisa-bisa aku gila mikirin pacarku sendirian di sini. Tapi aku masih harus main selama regular season."
"Dan playoff. Jangan lupa playoff."
Secara mengejutkan, mesin tua ringkih itu ternyata bukan kakek renta berusia 80 tahun, melainkan cewek muda dengan suara seringan kapas yang familier.
Aku mencabut headphone, terlempar dari halusinasiku sendiri, dan mendapati bahwa aku tidak sendirian lagi di selasar ini.
"Jangan ngejek aku," aku menggerutu.
Demi menyeringai dari pelipis ke pelipis, lalu menyuruhku bergeser sedikit. Disapanya mesin tua itu, lalu dia menekan kombinasi untuk memesan segelas teh panas. Mesin itu berdengung pelan, lebih tenang kali ini, hingga aku tidak yakin apakah mesin itu sesungguhnya kakek-kakek uzur atau cowok remaja genit yang suka dengan cewek cantik.
"Pernah belajar nge-hack?" tanya Demi setelah dia berbasa-basi dengan arwah genit penjaga mesin teh itu.
"What a question to start the day, mademoiselle." Kuputar bola mataku. "No. Why?"
"Aku mau kamu nge-hack mesin ini." Demi menunjuk mesin pembuat teh itu dengan sudut matanya. "Aku mau tahu mereka pakai teh jenis apa dan merebusnya di suhu berapa." Lalu, cewek itu mengintip melalui lubang kecil di samping mesin dan terlonjak mundur. "Ada yang gerak-gerak di dalam," dia mendesis.
"Dia lagi ngerayu kamu," ujarku.
"Apa?"
"Bukan apa-apa," kataku, mengedikkan bahu, lalu menyesap tehku lagi. "Aku nggak pernah belajar nge-hack, nyoba-nyoba nge-hack, atau melakukan hal-hal yang hacker related. Aku pernah main komputer, tentu aja, dan nggak sengaja ketemu kode-kode horor itu. Gaji pertamaku main di Nanterre kupakai untuk beli komputer dan main Assassin's Creed. Aku ini dasarnya sama aja kayak cowok-cowok kebanyakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...