Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (15)
—
16h15, l'Airness Store.
Siang itu, aroma high season tercium pekat.
Turis-turis hilir-mudik, berbicara dalam berlusin-lusin bahasa yang tumpang-tindih. Sementara itu, Demi dan aku mengantre untuk semangkuk es krim setelah melihat-lihat ke dalam Airness, toko bertema basket di 2nd arrondissement. Mereka punya koleksi sepatu, pakaian, lapangan basket, dan kafe yang cukup oke di satu tempat. Entah sudah berapa kali aku menerima ucapan selamat tiga hari ini, kunjunganku ke Airness juga tidak lebih baik.
Demi dan aku duduk di serambi kafe, masing-masing menekuri es krim rasa cokelat dan stroberi. Daripada pengunjung-pengunjung lain, selera kami bisa dibilang yang paling basic. Tapi siapa sih yang nggak suka cokelat dan stroberi? Seenggaknya itu bukan sesuatu yang bakal kamu muntahkan.
"Enak juga di sini," Demi tiba-tiba berbicara. "Kayaknya aku bukan tipe orang yang cocok tinggal di pantai, sejak di Paris pori-poriku hampir nggak kelihatan."
Aku tidak pernah memperhatikan pori-pori Demi, tapi kalaupun dia bilang dia nggak punya pori-pori, mungkin aku bakal percaya.
"Tapi pindah juga nggak ada artinya." Demi menggigit sendok es krimnya, lalu menatapku. "Sebentar lagi kamu udah main di NBA."
Aku mengepit sendokku di sudut bibir.
Banyak yang terjadi delapan bulan belakangan. Aku mengurus berkas eligibilitasku untuk NBA. Aku diajak berbincang-bincang bareng pemain-pemain bintang dan klub yang tertarik padaku. Aku mengikuti kamp pelatihan. Aku bolak-balik berbicara dan meminta maaf kepada agenku yang tercabik antara repot dan gembira. Semuanya sambil menunggu Demi datang ke Paris untuk menonton game terakhirku bareng Mets.
Kabar baik di atas kabar baik? Aku tidak jadi kuliah.
Just joking. Tapi, serius, aku betulan nggak jadi kuliah.
Sekarang namaku ada di mana-mana. Di bawah para pemain universitas terbaik di Amerika. Di atas para prospek terbaik dari seluruh dunia. Aku nggak masalah namaku ditaruh di mana saja. Tidak ada ranking resmi sebelum draft night.
Aku menghela napas.
Seminggu lagi sebelum aku memakai tuksedo yang Maman pesankan kepada teman desainernya di green room.
Seminggu lagi sebelum aku tahu aku berada di pick keberapa.
Seminggu lagi sebelum aku tahu franchise mana yang bakal memilihku.
Seminggu lagi sebelum aku benar-benar meninggalkan Paris—bukan cuma untuk minggat selama off season.
Seminggu lagi sebelum aku berpisah dengan Demi.
Yeah, lagi.
Tapi Demi dan aku sudah berjanji. Aku tidak boleh membuat Demi rintanganku. Bayangkan betapa kecewanya aku disuruh tidak usah memikirkan cewek itu setelah dicomot ke NBA. Dia pacarku, jeez, dan kami berdua sudah legal. Bisa saja kami tinggal bareng, kan?
"Jangan bengong."
"Sori." Aku mengerjap dan mencabut sendok es krimku dari sudut bibir.
"Nanti nggak boleh bengong di Madison Square Garden lho," katanya.
Aku mendengus, lalu tertawa. "Nggak bakal," janjiku, lalu mengacungkan kelingking. "Promise."
Demi menyambut kelingkingku. Kelingking kami bertautan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...