Makasih yang udah vote. ✌️
—
Basalt sudah seperti rumah keduaku setelah Paris.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Bangun, nge-gym, latihan, lalu nge-gym lagi. Mengganggu Demi, juga, kadang-kadang. Jika aku beruntung, kami bisa berakhir naked sambil mencumbui satu sama lain, tapi bertemu Demi secara umum saja sudah terasa menyenangkan. Kosakata dalam bahasa Indonesia yang kukumpulkan juga bertambah banyak. Sekarang, kalau Marki bertanya sedang apa aku di dapur malam-malam, aku bisa menjawab, "Makan," dan kalau dia coba-coba mengintip dengan siapa aku chatting, aku bakal bilang, "Kepo."
Tapi kata favoritku adalah cantik.
Lame, I know. Nggak ada alasan filosofis kenapa aku menyukai kata itu, tapi aku suka bercak-bercak kemerahan di pipi Demi saat aku mengatakannya berulang-ulang, dengan aksenku yang amburadul dan agak cengengesan, dan cara cewek itu mendengus setelahnya, seolah tersipu-sipu karena aku adalah dosa besar.
"Ini, cantik."
Aku memberikan gelas karton berisi chai pesanan Demi, lalu duduk di belakang meja kopiku sendiri.
"Stop," Demi menarik napas, "bilang aku cantik."
"Tapi kamu memang cantik," aku memaksa.
Memijit pelipisnya, Demi hanya mengatakan thanks pelan sebelum mengetik lagi menggunakan satu tangan.
Ada yang berbeda dari kencan kami hari ini. Karena aku tidak mau kalah dari Demi yang sangat katos kuajak jalan-jalan karena alasan yang dia sebut "deadline" itu, akhirnya aku membuat gebrakan paling cerdas abad 21 yang praktis menarik minatnya.
Yep, aku mengajak cewek itu "nulis bareng."
Bagaimana kedengarannya? Aku saja bangga pada diriku sendiri karena bisa-bisanya memikirkan hal sebrilian itu. Itu bukan gimmick, by the way. Aku memang sedang dalam keperluan untuk menulis sesuatu, untuk memudahkan agenku, lebih tepatnya. Aku sedang menyusun CV-ku. CV ini agak, dalam tanda kutip merah besar, berbeda, dengan CV-CV kebanyakan, tapi secara teknis memiliki purpose yang sama, yaitu untuk melamar.
Benar sekali, aku berencana melamar ke satu, eh, tempat, tapi tidak dalam waktu dekat. Aku cuma iseng menyiapkan CV dan memasukkan apa saja yang bisa kumasukkan. Sepanjang ingatanku, aku cuma pernah memenangkan tiga trofi juara konsekutif bersama tim lamaku di Nanterre, satu trofi vice champion bersama tim baruku di Levallois-Perret, dua medali world cup FIBA di under 17 dan 19, dan... that's it.
Aku bahkan tidak tahu apakah turnamen-turnamen jalanan di Asia dan pemain-pemain yang mencium kakiku itu terhitung.
Sekalipun tidak terhitung, itu akan menjadi pengalaman main basket paling legendaris yang akan kutulis di autobiografiku saat aku sudah merintis karir di NBA kelak. Lima bab, paling sedikit.
Wait, atau biografi? Demi penulis. Cewek itu pasti mau menuliskannya untukku. Dia tahu cara membuat tulisan yang menarik. Lihat saja keningnya yang berkerut-kerut. Itu kening seorang pemikir keras yang punya banyak dunia di dalam kepalanya. Demi belum sadar aku sudah meleng dari Macbook-ku sendiri karena nge-stuck dan sekarang malah memandangi cewek itu.
Bibir Demi bergerak-gerak pelan saat dia mengetik, dan tidak ada yang lebih ingin kulakukan daripada menggigit bibir itu.
Keras-keras.
"Stop staring at me."
Senyumku hampir menyentuh pelipisku sendiri.
"I can't," kataku. "Kamu terlalu cantik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...