Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (3)
—
Aku baru sampai lampu merah di persimpangan menuju kompleks perumahan Marki sebelum memutar balik ke indekos Demi.
Demi belum makan. Janjinya kami bakal makan pizza di Little Napoli setelah mengunjungi secret beach, tapi aku tidak bisa menahan emosi membuat semuanya berantakan. Demi pasti syok aku memperlakukannya seperti itu. Aku tidak peduli soal cewek-cewek yang main Uno di paviliun, aku juga tidak peduli Demi yang pasti berpikir aku sudah gila. Aku bakal mengajak cewek itu makan, lalu meminta maaf. Yah, agak melenceng dari itinerary, tapi nggak masalah.
Sesampainya di indekos, paviliun sudah kosong-melompong. Cewek-cewek itu barangkali sudah kembali ke kamar masing-masing. Aku buru-buru mengetuk pintu kamar Demi, diam-diam berharap cewek itu tidak mengintip lebih dulu karena dia pasti bakal membiarkan aku lumutan di sini karena sikap brengsekku tadi.
Ajaibnya, pintu terbuka, tapi aku nyaris tidak mengenali cewek itu karena wajahnya berubah menjadi warna hijau.
Secara harfiah hijau.
"Er..." kataku.
"Ngapain kamu balik ke sini?" Oh, thank God. Suaranya masih Demi.
"Ngajak kamu makan," aku menjawab spontan. "Itu... di wajahmu..."
Refleks, Demi menyentuh wajahnya.
"Ini masker," kata cewek itu, sedikit defensif. "Aku lagi maskeran."
"Ayo makan malam," ujarku.
Mata Demi membesar. "Sekarang?"
"Yeah...?" kataku.
"Tapi aku masih maskeran," kata Demi.
"Yah, lepas dulu maskermu," kataku.
Aku hampir tiduran di lantai dan mengembuskan angin puyuh saat mendengar Demi terbahak-bahak.
"Memangnya cowok-cowok nggak pernah maskeran bareng di dorm?" Demi berpegangan pada birai pintu dengan satu tangan menekan perut. "Kalau masker ini dicopot wajahku bisa ikutan lepas."
Tawa Demi menular padaku. "Pernah, dan bisa dilepas," kataku. "Let's go. Kamu pasti belum makan, kan?"
"Berarti itu sheetmask," Demi nyengir. "Sebentar, aku bilas masker dulu. Eh, tapi aku juga belum mandi."
"Nggak usah mandi," aku menggeram.
"Tapi jelek."
Aku mendelik. "Cantik."
Jangan sampai kami bertengkar lagi gara-gara masalah sepele begini.
"Hm." Kedua alis Demi, yang tidak diolesi masker, anjlok. "Ya udah. Awas aja kamu lirik cewek lain yang jelas-jelas udah mandi."
"Nggak bakal." Cuma dikatai begitu saja aku sudah tersipu-sipu. Standar gombalku terjun bebas cuma karena satu cewek. Sekarang aku bisa salah tingkah karena mendengar Demi cemburu. "Colok aja mataku kalau aku lirik cewek lain." Nanti aku bakal pura-pura buta supaya punya alasan untuk jalan sambil tutup mata.
"Aku bilas masker dulu," kata Demi, dan saat cewek itu hendak menutup pintu, dia memuntir lehernya, lalu berdeham, "pintunya biarin kubuka. Jagain." Dan jangan masuk, kuperingatkan diriku sendiri. Demi lapar, aku lapar, dan, above it all, aku tidak bawa kondom.
➖
Karena Little Napoli di Pyxis dan Pyxis kejauhan, akhirnya kami cuma makan sandwich di Saturn Diner.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scream & Shout
RomanceSetelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah. Cowok itu telah memilih jalan hidup sebagai joki turnamen basket jalanan yang nomaden di Asia, meskipun diam-diam dia masih ingin main di EuroLeague. Tapi perjalanan Jai...