21. String Me Along

5K 223 51
                                        

Vote? Huehehe. ( ͡° ͜ʖ ͡°) (6)

Anggap saja Invitational latihan terakhirku sebelum pulang ke Paris dan dites macam-macam seperti tikus lab.

Masa pre-season di LNB, sementara itu, sudah lewat. Invitational-lah ajang balas dendamku untuk match-match yang kulewatkan itu. Diam-diam aku bangga pada caraku sendiri mengatur waktu. Begini jadwalnya: pagi-pagi aku bangun, nge-gym, lalu mandi. Setelah sarapan, aku pergi ke indekos Demi untuk mengajak cewek itu jalan-jalan. Ngopi, belanja ke supermarket, melihat-lihat ke toko buku, bahkan ke Sephora. Apa saja asalkan bersama Demi. Dia juga menemaniku beli kaus kaki karena kaus kakiku sudah bulukan dan benangnya tercerabut di sana-sini. Selesai nge-date, biasanya Demi tidak langsung minta diantar pulang karena cewek itu bakal menemaniku latihan di gym sambil menulis di Macbook-nya.

Omong-omong, Calvin sangat serius soal Invitational. Cowok itu semakin rajin latihan, tidak seperti saat Constantine Cup. Mungkin karena Invitational semacam showcase yang mendapat banyak eksposur dari media olahraga lokal (katanya nasional juga, tapi entahlah, bukan urusanku). Latihan selesai sebelum pukul delapan, dan setelah mengantar Demi pulang, kalau tidak mendadak kepengin menghabiskan lebih banyak waktu bersama cewek itu—yang sangat sulit kuhindari karena tubuhku sampai nyeri menginginkannya—aku bakal pulang dan nge-gym lagi.

Aku tidak bisa merasa capek lagi karena itulah kehidupanku. Rasanya sudah seperti makan tiga kali sehari.

Menjelang Invitational, teman-temanku pergi ke technical meeting tanpaku sementara aku asyik-asyikan pacaran dengan Demi. Mereka mengerti kalau waktuku di sini terbatas dan aku tidak bakal bisa menempelinya seperti sekarang saat kami sudah mulai LDR. Lagi pula, aku kan memang nggak bisa bahasa Indonesia. Jeez, aku tidak pernah menyangka bakal menyukai anak-anak itu? Tapi mereka memang manis sih, minus obrolan group chat-nya yang bikin WhatsApp nge-lag. Mereka bakal kuberikan credit khusus, tapi tidak sekarang. Lebih cenderung saat aku sudah menulis biografiku sendiri.

Ya ampun. Sejak kapan aku jadi tukang khayal begini? Demi yang penulis saja tidak separah aku, meski cewek itu mengaku kalau dia yang lebih parah, tapi dia sangat smooth saat melakukannya. "Jam terbang," kata Demi. "Dan biasanya langsung kujadiin bisnis sebelum aku gila gara-gara khayalanku sendiri."

Dia menyindirku.

Aku menyarankan kalau Gasher sebaiknya mengambil dua hari rest day karena kami berlatih seperti orang keranjingan dua minggu belakangan, jadi hari itu adalah hari terakhirku di gym fakultas Hukum. Serius, aku bakal merindukan ring kembarnya. Ring kembar itu sangat mengingatkanku pada gym di sekolah. Aku juga bakal merindukan mencuri-curi pandang ke arah Demi yang sibuk menulis sendiri di tribun setelah aku berhasil handling dengan halus macam Jordan Poole[1], nge-dunk, atau apalah yang keren-keren.

Oke. Stop. Aku bakal galau dan jadi suicidal kalau memikirkan bakal merindukan melihat cewek itu.

Rencananya aku bakal langsung pergi, mengantar Demi ke indekosnya, tapi Rafael tiba-tiba datang entah dari mana dan memelukku. Jujur, aku kaget. I mean, sure, aku bukan cowok yang gampang jijik saat dipeluk teman-teman cowok. Toh kami sering melakukannya saat menang match. Saat kalah pun kami berpelukan untuk memberikan semangat... terkadang dengan niat untuk menusuk kepala si biang kerok juga. Aku cuma bingung si Rafael ini kenapa.

Aku lebih kaget lagi saat dia memberiku t-shirt yang masih bau toko.

"What's this?" tanyaku, benar-benar bingung.

Scream & ShoutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang