Trigger warning: Suicidal thoughts, mental issue. Contains explicit descriptions about disability, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
"Permisi, ya, Mas. Saya kosongkan dulu kantungnya."
Damar meminta izin, yang kemudian hanya saya tanggapi dengan anggukan. Diri ini masih terlalu sibuk menahan rasa berkunang-kunang yang serasa menjalar sampai ke kedua bola mata. Perawat muda dengan badan bongsor dan rambut cepak itu pun, mengangkat kantung khusus berwarna bening dari pengait di sisi ranjang, lalu mulai melepaskannya dari slang yang tersembunyi di balik celana saya.
Cairan kekuningan tampak telah membuat ruang kantungnya menggembung. Semalam suntuk, urin dari kandung kemih saya memang telah mengalir ke dalam sana lewat kateter. Benda itu kini sudah jadi salah satu kawan baik di hampir setiap malam, membantu agar setidaknya ketika pagi datang, saya tidak perlu melihat kasur yang basah karena bekas ompol.
Beginilah kenyataan lain yang harus saya terima. Karena kelumpuhan yang mendera, organ-organ yang berada di area panggul juga sudah tidak berfungsi normal lagi, kehilangan kendali.
Saya tidak tahu lagi kapan harus buang air kecil ataupun besar. Keadaan semacam ini memang sangat wajar terjadi pada orang dengan kondisi fisik seperti saya. Tidak bisa dicegah ataupun disembuhkan, hanya bisa diregulasi dengan beberapa bantuan alat dan obat-obatan. Berurusan dengan berbagai jenis kateter, mengkonsumsi obat—atau bahkan yang paling memalukan lagi—memakai popok dewasa, adalah hal-hal yang sudah tidak asing bagi saya.
Merepotkan memang. Dan biarpun saya sudah mencoba berbagai metode regulasi, bisa saja "kecelakaan-kecelakaan" itu masih kerap terjadi. Jangan tanya bagaimana ego ini sudah terkikis keras karena harus berurusan dengan hal-hal memalukan ketika organ-organ pengeluaran di bawah sana berulah. Mengompol, buang hajat di celana, ataupun risiko konstipasi, mau tidak mau harus saya anggap hal wajar yang bisa kapan saja terjadi. Jangan tanya pula bagaimana urat malu ini sudah hampir tergerus habis tiap kali saya harus membuat Laras repot karena kejadian-kejadian semacam itu. Sudah berkali-kali, saya pernah membuatnya harus membereskan kekacauan yang saya buat.
"Mas Hasta mau pindah sendiri atau—"
Saya tidak menunggu tawaran lanjutan dari Damar. Lengan ini segera terulur, memberi kode agar si perawat muda segera mengangkat saya ke commode chair[1]. Damar sekilas menderma senyum yang terasa memaklumi. Lengan kokohnya kemudian memeluk punggung saya yang sudah tidak terlapis pakaian. Sementara, saya pun mulai mengalungkan lengan di lehernya, membentuk posisi aman untuk berpindah.
"Mas, nanti porsi makannya dibanyakin lagi, ya. Supaya tenaganya cepat pulih."
Damar berucap tenang di dekat telinga selepas manuver transfer dilakukan. Tubuh ini mungkin sudah terlalu terasa ringan dan mudah untuk dipindahkan. Saya lalu memilih untuk tidak berkomentar, paham akan maksud baik Damar. Saya paham bagaimana ia hanya tengah memberi motivasi dengan cara yang halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...