Hei, ramein yuk vote-nya, biar author-nya makin semangat nulis🤗
-:-:-
"Dressing."
Seorang perawat laki-laki yang berdiri di belakang punggung saya ini, memberi instruksi pada rekan sejawatnya.
Tangannya yang sudah berlapis handscoone steril lalu tampak menerima benda yang mirip seperti lembaran busa tipis dari sang rekan. Saya tidak tahu pasti, itu apa dan fungsi detailnya untuk apa. Namun yang saya yakini, mereka tengah melakukan yang terbaik untuk membersihkan dan merawat luka terbuka ini.
"Ulkus dekubitus[1]. Sudah masuk derajat tiga."
Semalam, itulah diagnosis yang sudah ditegakkan oleh dokter selepas saya dilarikan ke unit gawat darurat. Sebelumnya, ketika saya tengah diserang demam dan sakit sekujur tubuh yang menyiksa, luka itu ditemukan. Terletak di sekitar bagian tulang ekor, diameter sudah mencapai kurang lebih enam sentimeter, dan katamu luka itu telah mengeluarkan darah serta nanah ketika kamu temukan, Hawa.
"Sudah mencapai bagian sub-cutis."
"Tergolong serius."
Memang, terkait penyakit ini, ada beberapa istilah medis yang kurang saya pahami. Namun pernyataan terakhir sang dokter, sudah cukup menjelaskan status kondisi ini. Tidak heran lagi mengapa waktu itu kamu dan Cahyo sampai tidak berani membawa saya ke rumah sakit dengan mobil pribadi. Kalian memilih untuk menelepon nomor gawat darurat. Setelahnya, tim paramedik yang datang dengan ambulans pun, harus membawa saya dengan posisi miring di atas stretcher. Luka itu betul-betul harus dihindarkan dari posisi yang akan semakin menekan bagian permukaanya.
"Sudah nyaman, Mas? Ada yang perlu dibantu lagi?"
Pertanyaan perawat laki-laki yang tadi melakukan tindakan, sontak mengaburkan lamunan singkat saya. Setelah selesai dengan perawatan luka, pemeriksaan tanda vital, dan segala tetek bengek self hygiene, perawat-perawat itu pun membantu saya mengatur posisi lagi. Saya dibaringkan miring dengan bantal-bantal ataupun foam padding yang menyanggah beberapa bagian tubuh ini supaya tidak saling menindih ataupun bergesekan.
"Sudah, Ners. Terima kasih," tanggap saya kemudian.
"Kalau ada yang urgent, bisa tekan tombol panggilan, ya, Mas," pesannya seraya merapikan selimut yang melingkupi sebatas dada ini.
Perawat-perawat dengan seragam serbaputih itu pun undur diri. Tak lama, gantian Cahyo terlihat memasuki ruang rawat. Ia lalu mengambil tempat di kursi lipat sebelah ranjang elektrik. Sekilas, senyum di bibirnya mengembang meski matanya tampak lelah.
"Mas Cahyo nggak ke kantor?" tanya saya, merasa sungkan.
"Hari ini Mas cuti dulu, temenin kamu. Nanti kamu sendirian bagaimana?"
"Maaf, ya, Mas. Ngerepotin lagi," ungkap saya, yang kemudian malah disanggah dengan santai oleh Cahyo.
Saya terbatuk berat beberapa kali. Cahyo lantas mengambil gelas dari atas nakas. Membantu saya meminum air putih di dalamnya dengan sedotan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...