Solitude

526 46 8
                                    

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Sudah stretching, Mas?"

Seperti biasa, Damar di pagi itu kembali menyapa saya di kamar. Masih dengan setelan scrub medis kesayangannya, Damar memang selalu tampak serapi dan seprofesional itu, bahkan di akhir pekan sekalipun. Setelah saya perhatikan, dia bahkan punya beberapa setelan scrub dengan beberapa gaya dan warna berbeda yang selalu berganti tiap harinya. Dan yang saya tahu, Damar hanya akan mengganti scrub itu dengan baju biasa kalau jam kerjanya sudah memasuki waktu sore hari hingga malam.

"Belum, sih," jawab saya santai.

"Lho, Mbak Hawa tadi nggak ke sini?"

Pertanyaan Damar lalu hanya saya jawab dengan gelengan.

"Walah. Maaf, ya, Mas. Tadi saya pikir Mbak Hawa sudah ke sini bantuin Mas. Soalnya kalau pagi weekend gini, biasanya kan Mbak Hawa yang sudah duluan nengokin Mas. Makanya tadi saya terima telepon dulu dari Ibu."

"Nggak apa-apa," ujar saya, sama sekali tidak keberatan.

Semenjak hal canggung yang kita lewati semalam, tidak seperti pagi-pagi lainnya, kamu memang belum menunjukkan wajahmu lagi di hadapan saya, Hawa. 

"Tadi sebelum ke sini, kamu lihat Hawa? Dia lagi apa?" tanya saya, betul-betul penasaran.

"Tadi lagi di dapur kalau nggak salah, Mas. Kayaknya lagi sibuk sama Mbok Jum," tanggap Damar.

"Oh," saya mafum. 

Pandangan ini lalu beralih pada nakas. Vas itu sudah kembali diisi dengan bunga aster putih dan ungu yang baru dan segar. Mungkin selepas subuh, ketika saya kembali ketiduran tadi, kamu yang sudah menggantinya.

Ya, tanpa perlu repot-repot bertanya pada Damar, saya sudah tahu pasti jika ini adalah pekerjaanmu, Hawa. Ya, kamu memang seringnya seperti itu, bukan? Perhatianmu adalah yang sunyi dan kerap tanpa kata. 

"Oh, iya. Anu, Mas," celetukan Damar lantas melenyapkan lamunan ini, "Tadi Ibu saya di telepon ada titip salam buat Mas."

Saya lantas tersenyum mendengar pesan hangat itu. "Terima kasih. Salam balik juga buat ibumu," ucap saya. "Apa kabar keluargamu, Mar? Semua sehat?"

"Ibu sama adik-adik semuanya sehat, Mas," tanggap Damar tenang. 

Dirinya kemudian meminta izin pada saya untuk mulai melakukan peregangan dan pijatan ringan. Pelan-pelan, Damar kembali membuat saya sedikit merasa nyaman setelah semalaman tubuh ini diserang kekakuan dan nyeri yang kerap membangunkan. 

Satu pikiran terlintas begitu saja di benak ini ketika saya memperhatikan lagi bagaimana perawat muda ini selalu bekerja dengan sepenuh hati. Selama ia merawat saya, tidak pernah sekali pun saya mendapati sikapnya yang sembrono ataupun tidak sabaran. Tidak pernah.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang