Confession

612 50 8
                                    

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

Malamnya adalah yang basah, sembab diguyur hujan. Mungkin, air langit kini tengah bicara perihal kesedihan. Nyeri di sekujur tubuh ini kembali terasa meradang. Spasme yang liar pun kembali memaksa saya untuk terjaga meski tidak mampu bangkit dari tilam.

Malamnya adalah yang berangin, ramai dengan gemuruh petir. Mata ini kembali terbuka. Remang nyala bedside lamp di atas nakas kembali merayakan lelap yang telah hilang seutuhnya. Memang sudah jadi kebiasaan, selepas kecelakaan, waktu-waktu tidur saya memang hampir tidak pernah ada tenangnya. Dan sekali lagi, saya hanya perlu memaklumi fenomena ini.

Berkali-kali saya rapalkan nama Tuhan, meminta ampunan, meminta belas kasihan. Nyeri yang saya rasakan ini adalah semacam pengingat akan bentuk-bentuk kerapuhan manusia. Dan tanpa sengaja, nyeri ini pun menjadi pemantik bagi memori untuk kembali mengelana pada kenangan lama. Di mana ada sosok Ibu yang saya jumpai di sana. 

"Hasta, sakit, Nak?"

Suara lembut itu layaknya suar yang menuntun pada gelapnya kenangan lampau. Ibu, pernah pada suatu masa, beliau menanyakan hal itu dengan lembut pada saya. Kala itu, seorang dokter tengah membebat lengan kanan saya yang retak dengan gips selepas cedera karena pertandingan bola basket SMP.

Selama proses itu berlangsung, Ibu menemani saya dengan rangkulannya, genggaman tangannya, ataupun kecupan lembut di pelipis dan puncak kepala ini. Kala itu, di unit gawat darurat yang riuh dengan suara rintihan pasien dan hiruk-pikuk para tenaga medis, Ibu bersikeras menemani saya melewati gelombang lara selama dokter masih bekerja.

"Sakit, Sayang? Nyeri?"

Pada momen itu, saya sama sekali tak ingin menanggapi pertanyaan Ibu dengan anggukan, melainkan dengan gelengan. Sebab, di kepala ini, nasihat Bapak tengah menggema dengan lantang: Jadi anak laki-laki yang tegar, Le. Yang sabar, yang paham prihatin.

Sungguh, di momen itu, saya berpikir jika saya mengiyakan pertanyaan ibu, maka saya bukan anak lelaki yang tegar. Di momen itu, pikiran saya merongrong jika saya mengeluh kesakitan, berarti saya bukan orang yang sabar. Saya tidak mau jadi anak lelaki yang tidak kuat di hadapan Ibu. Kalau begini saja sudah tidak kuat, bagaimana nanti ketika saya besar mau melindungi saudara-saudara perempuan yang lain? Begitu pikir saya.

"Hasta, Sayang. Masih tahan? Nyeri, kah, Nak?"

Dan ketika sekali lagi ibu bersikeras bertanya, saya hanya kembali menjawabnya dengan gelengan. Dokter tampak masih setengah jalan untuk merampungkan pekerjaan. Tapi kemudian, air mata saya tak kuasa lagi untuk tertahan. Butir-butir itu pun meluncur cepat—sebuah bukti autentik jika pada satu titik, perasaan itu hanya butuh yang namanya penerimaan. Mengakui kerapuhan bukanlah suatu kesalahan.

"Sayang, hei. Yang namanya tulang retak itu memang sakit."

Itulah yang Ibu katakan dengan begitu sederhana. Saya yang masih berusaha mengelak dari kekecewaan karena tidak mampu menjadi anak lelaki yang tegar, lantas hanya terus mencoba menghapus air mata yang masih berjatuhan. Sembari menahan malu dan nyeri fisik ini, saya hanya terus merutuk dalam hati jika seharusnya dokter lebih cepat menyelesaikan pekerjaan agar saya tidak perlu terlalu lama lagi menjadi anak lemah di hadapan Ibu.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang