Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
"Hasta bisa bantuin Mbak sebentar?" tanya Laras, menghampiri saya di ruang tengah. Sabtu pagi itu sedang coba saya habiskan dengan membaca satu buku lagi dari lemari buku Almarhum Bapak.
"Bantu apa, Mbak?" tanggap saya.
Laras tak lantas memberi jawaban. Dirinya sekilas tersenyum penuh misteri. Selepas perlahan-lahan saya berpindah dari sofa ke kursi roda, saya biarkan Laras mendorong si Kaki Kedua ini ke tempat yang ia inginkan. Tak dinyana, dirinya malah membawa saya ke taman belakang, ke sebuah sudut yang dipenuhi banyak tanaman hias dan bunga-bunga yang bermekaran. Saya tahu, sudut itu adalah salah satu kesayangan Laras selain dapur dan pekarangan depan—yang selalu ia rawat dengan penuh perasaan.
Satu pemandangan berbeda lalu menarik atensi saya. Sebenarnya sedari kemarin, saya sudah melihat perubahan itu terpampang di sana, hanya saja belum sempat menanyakannya pada Laras. Dan kini, mungkin barulah saat yang tepat untuk mengungkap maksudnya.
"Bantuin Mbak tanam bibit, ya?" ujar Laras. "Tanamnya di sini."
Dirinya lalu menunjuk dua kontainer besar yang diletakkan tepat di ujung semak-semak mawar merah dan pancawarna biru yang tengah bermekaran. Terbuat dari semacam GRC board berlis siku-siku baja, kontainer itu tampak seperti garden bed ataupun flower bed yang pernah saya lihat di beberapa koleksi majalah berkebun milik Laras. Akan tetapi, garden bed satu ini tidak dibuat dengan tinggi yang biasanya hanya sebatas tinggi mata kaki ataupun setinggi lutut orang dewasa.
Garden bed ini dibuat dengan elevasi yang baik, begitu sesuai dengan tinggi saya yang duduk di kursi roda. Saya bahkan bisa mendekatkan kursi tanpa harus takut lulut ini terantuk dengan sisi-sisinya karena ia dibuat dengan kaki-kaki lebar dan tinggi yang ada di dua sisi, kanan-kiri. Ruang tempat menanam bibitnya dibuat dengan lebar dan kedalaman yang sesuai agar saya bisa bekerja sedekat dan seleluasa mungkin. Laras betul-betul membuat saya mudah menjangkaunya.
"Tanahnya kan sudah diisi semua. Hasta nanti tinggal bantu Mbak masukin bibitnya," terang Laras. Nada suaranya terdengar begitu antusias.
Binar terang di mata perempuan lembut ini layaknya suar. Hangatnya menguar sampai hati terasa bergetar. Setelah waktu itu Laras memberi saya kejutan dengan renovasi-renovasi kecil di bagian depan vila, kini ia kembali membuat saya semakin tersentuh dengan beberapa modifikasi di sudut teduh ini.
Laras mencoba melibatkan saya ke dalam dunianya. Dengan lembut, dirinya sekaligus tengah bicara jika saya masih bisa melakukan banyak hal dengan cara-cara yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Dan jika diingat-ingat lagi, sudah dari beberapa hari lalu, Laras memang sering sekali minta bantuan pada saya untuk mengerjakan hal-hal kecil yang sekiranya bisa saya lakukan dari atas kursi roda—terutama perkara domestik. Merapikan tempat tidur sendiri, menjemur dan melipat baju-baju, menyedot debu dengan portable vaccum cleaner, menata gelas dan peralatan makan pada sudut kitchen set yang masih bisa saya jangkau, atau bahkan ia meminta saya untuk membantunya di dapur mengaduk adonan kue dan memasak bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...