Longing for Them

817 62 18
                                    

Selamat malam mingguan dan selamat rehat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat malam mingguan dan selamat rehat. Jangan lupa, luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Mas, yakin bisa sendiri? Berani?" tanya Damar ragu. Kerut tampak tercetak jelas di pangkal alisnya.

"Memangnya kenapa nggak berani? Lagian kan kamu juga yang sudah ngajarin saya?" Saya balik bertanya.

Damar kemudian tampak memasang tampang serius yang dibuat-buat. Ia lantas berbisik, "Delapan belas plus ini, Mas. Adegan berbahaya."

Saya sontak terbahak mendengar guyonan perawat satu ini. Geli sendiri.

"Ngawur," sembur saya, yang spontan kembali menyulut gelak tawa Damar.

Jam belum menunjuk pukul enam, dari satu setengah jam yang lalu saya memang sudah terjaga. Nyeri kronis di pagi hari ini masih saja seperti biasanya—menyiksa saya. Membuat tubuh ini harus merelakan berpuluh-puluh menit lamanya, bergumul di atas pembaringan tanpa bisa apa-apa. Mau pergi ke toilet untuk urusan berkemih pun sulitnya luar biasa.

Kalau sudah begitu, Damar biasanya yang akan membantu saya membereskan urusan itu di atas ranjang dengan kateter intermittent dan peralatan lainnya. Mau tidak mau.

Iya, tidak salah. Di saat-saat yang tidak memungkinkan seperti ini, berkemih di atas pembaringan adalah hal yang wajar dilakukan oleh orang-orang dengan kondisi seperti saya. Terdengar memalukan memang. Namun kini, perlahan saya mencoba menerima kenyataan. Ketimbang mengeluhkan ini-itu, lebih baik saya melakukan hal memalukan ini daripada harus menerima akibat yang lebih buruk hanya karena bersikeras menahan.

Namun kali ini, saya berniat ingin mencobanya sendiri. Karena di lain kesempatan, saya benar-benar tidak ingin bergantung lagi pada bantuan Damar. Ranah-ranah privasi semacam ini—selama saya masih mampu—suatu saat nanti harus bisa saya urus secara mandiri. Harus.

"Sudah saya taruh di sini semua, ya, Mas," ucap Damar seraya meletakkan kateter intermittent, urinal plastik, pelumas, dan segala peralatan steril sekali pakai lainnya di atas overbed table.

"Santai saja, Mas. Seperti yang sudah saya ajarkan waktu itu. Alon-alon. Ojo dipekso. Takutnya nanti berdarah," pesan Damar tenang.

Dirinya sempat menyebut salah satu risiko yang memang bisa saja terjadi ketika prosedur dilakukan. Kedengarannya memang agak menyeramkan. Namun hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu masih bisa dicegah selama mengikuti semua anjuran.

Damar kemudian menegakkan bagian punggung profiling bed dengan remot pengendali agar memudahkan saya melakukan prosedur. Dirinya lalu memilih keluar sebentar, memberi saya waktu pribadi untuk melakukan semuanya sendiri.

Awalnya grogi. Karena ini memang pertama kali saya melakukannya tanpa bimbingan Damar sama sekali. Tapi kemudian, pelan-pelan, prosedur ini ternyata terasa lebih mudah dari yang saya kira.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang