Trigger warning: Suicidal thoughts, mental issue. Contains explicit descriptions about disability, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
Malam kian membubung. Namun sayangnya, pikiran ini masih saja disesaki bayang-bayang penyesalan dan kenangan kelam. Mendesak tubuh yang sebenarnya sudah lelah untuk tidak tunduk di bawah buaian lelap. Kalau saja waktu itu dan kalau saja-kalau saja yang lain pun, bermunculan. Menjelma andai-andai kosong yang sudah jelas saya tahu takkan pernah bisa memutar-balikkan waktu.
Isi kepala ini berisik sekali. Dan untuk kesekian kali, saya kembali mentertawakan diri sendiri. Ke mana saja selama ini? 23 tahun lebih hidup di dunia, baru sekarang saya sadar jika tidur adalah salah satu nikmat Tuhan yang tiada taranya. Betapa bahagia orang-orang di luar sana yang setiap malam bisa tidur dengan nyenyak tanpa perlu diganggu resah apalagi dihantui nyeri yang kerap datang tanpa permisi.
Renungan memang seringnya datang begitu terlambat, bukan? Barulah setelah satu nikmat yang kelihatannya sepele itu dicabut, manusia dengan mudahnya akan merengek lemah dan merasa sengsara. Saya pun kembali dibuat takut sejadi-jadinya.
Keangkuhan nyatanya mampu menjelma kabut kelam yang tanpa sadar akan terus menyesatkan, menjadi aling-aling bagi mata batin. Dan sangat mungkin jika selama ini, saya memang sudah terlalu jauh dari yang namanya laku prihatin. Jujur, ini adalah pelajaran dari Sang Kuasa yang sampai detik ini masih belum mampu saya cerna dan terima seutuhnya. Terlampau sulit dan jengah untuk diakui.
Dua bola mata ini kembali terbuka. Mereka pun akhirnya lelah karena dipaksa memejam selagi pikiran masih saja mengelana. Dan pandangan saya kemudian bergulir pada sebingkai memori beku di atas nakas.
Cahaya kuning remang dari bedside lamp menerangi wajah-wajah penuh senyuman semringah yang terabadikan di sana. Latar pemandangan pantai terkenal di kota Jogja menghiasi foto itu. Saya ingat, ini foto yang diambil ketika saya masih duduk di kelas 1 SMA.
Tahun-tahun tampaknya telah berlalu begitu cepat. Semua sudah jauh berbeda sekarang. Perasaan "tidak lengkap" itu sontak kembali menyergap hati. Dua orang yang paling saya cintai di foto itu, kini sudah tidak lagi mampu saya temui.
"Bukan aku. Hawa yang mulai duluan, Bu."
"Bapak, Hasta curang. Masa jatah susu coklatku dihabisin."
"Wa, kamu pakai t-shirtku lagi ya?"
"Has, CD baru Linkin Park-ku yang kemarin kamu pinjam mana?"
"Has, tungguin. Rotiku belum habis."
"Hawa omelin aja tuh, Bu. Tiap hari kalau dibangunin susah banget."
Garis-garis rupamu berganti memenuhi pandangan. Dan kemudian, sederet kenangan tak diundang kembali menyerbu pikiran. Hari-hari di mana masih ada tawa, ocehan lugu, ataupun berbagai kenakalan remaja, memanglah salah satu bagian indah yang masih selalu terasa segar dalam ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...