Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
Saya melekatkan kenangan di tempat sunyi itu dalam ruang ingatan. Di sana, adalah suaka yang tidak akan pernah letih mengingatkan diri ini perihal penerimaan. Perihal belajar mengikhlaskan dan menyembuhkan—perlahan tanpa paksaan.
Pada satu janji, vila penuh memori keluarga kami nantinya akan sering-sering saya jadikan lawatan di kala rindu meradang, kala saya butuh tempat untuk lebih dekat dengan kesunyian dan pencerahan. Dan persis seperti masa kanak-kanak dulu, saya akan selalu jadi orang yang paling menantikan saat-saat untuk berlibur kembali di tempat ini. Meski kini, ada yang terasa kurang lengkap sebab absensi Bapak dan Ibu, antusiasme saya untuk tetap menghidupi tempat ini, rasanya tidak akan berubah. Dan saya yakin, seperti itulah sikap yang diinginkan Mendiang Ibu dan Bapak dari anak-anaknya.
Satu hari sebelum saya meninggalkan Tawangmangu, Laras masih sempat mengajak saya berkunjung ke Florafarm. Tidak ada yang saya rasa berubah dari kebun itu semenjak satu tahun lalu. Hanya saja, saya lah yang telah berubah. Yang tidak lagi mampu menikmati tempat itu seperti sedia kala.
Kursi roda sangat tidak kompatibel dengan medannya yang naik turun, penuh tanah, dan sama sekali tidak rata. Alhasil kala itu, saya lebih banyak kecewa karena limitasi yang ada. Tidak banyak lagi tempat yang bisa saya jangkau dengan kondisi seperti ini.
"Bertahap, kebun ini nantinya juga pengin Mbak renovasi. Biar kamu aksesnya juga mudah, Has."
"Mbak pengin nantinya kamu juga bisa menikmati tempat ini, seperti dulu."
"Bapak dan Ibu pasti juga ingin hal yang sama."
Tapi kemudian, di balik kekecewaan saya, Laras adalah orang pertama yang kembali meyakinkan diri ini jika suatu saat akan ada akses yang mumpuni. Pelan-pelan, Laras punya harapan besar kalau kebun kami suatu saat nanti akan bisa dinikmati tanpa batas oleh semua kalangan, termasuk yang berkebutuhan khusus seperti saya.
Tiga bulan berada di Tawangmangu tampaknya sudah cukup membuat saya merasa asing dengan bising metropolitan. Bising yang menyengat sepi. Latar tempat yang saya jejaki, kini sudah tidak lagi dikepung sunyi. Jakarta, saya akhirnya kembali ke sini, pada detak Ibu Kota yang riuh. Meski begitu, kediaman keluarga kami akan jadi tempat teduh paling menenangkan di ujung hari. Walaupun tiada lagi sosok Bapak dan Ibu yang selalu jadi inti kehangatan di sana, tempat itu tetap akan jadi yang utama untuk pulang.
Berbeda dengan Cahyo dan Tante Mira yang dengan hangatnya langsung memeluk saya selepas memasuki pintu rumah. Di Sabtu sore itu, dirimu justru memilih untuk menyambut saya dengan cara yang cukup tersirat, Hawa.
Kamu menyambut saya dengan harum masakan yang menguar sampai ke seluruh penjuru ruangan. Dengan satu rangkaian bunga panca warna segar dalam vas yang tampak di areal foyer. Ataupun, dengan tata ruang yang saya ingat sudah sedikit berubah dari semenjak tiga bulan lalu meninggalkan tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...