A Spark

1.2K 87 52
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Trigger warning: Suicidal thoughts, mental issue. Contains explicit descriptions about disability, upsetting scenes, and traumatic events.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Mas, tadi ada titipan dari Mbak Laras di meja ruang tengah."

Damar menyahut dari arah pantry ketika saya bergulir dari kamar melewati ruang makan. Tanpa perlu bertanya lebih lanjut, saya pun menghampiri tempat yang dimaksud. Sebuah kotak kardus ukuran sedang lalu tertangkap pandangan.

Brakes di kedua sisi roda saya kencangkan ketika terhenti di sebelah meja kayu jati yang dikelilingi sofa-sofa warna ivory. Perlahan, seraya agak menunduk, saya mengatur keseimbangan pusat agar tidak limbung dari kursi roda. Kotak warna coklat yang ternyata cukup berat itu lalu saya angkat dan pindahkan ke atas pangkuan.

Hasta mungkin mau menggambar lagi. Sudah lama nggak menggambar, 'kan?

Begitulah yang tertulis pada selembar kertas memo kuning yang disematkan Laras dalam kotak. Sebuah buku sketsa, watercolor pad, seperangkat pena micron dan alat gambar lain, serta komputer tablet seri terbaru yang belum dibuka dari bungkusnya, tampak tersusun rapi di sana.

Tanpa terasa, senyuman tipis di sudut bibir pun tak mampu tertahan. Meski belum begitu menemukan antusiasme untuk kembali melakukan hal-hal yang dulu pernah menjadi salah satu kegemaran dan pusat dunia saya, telah terlintas rasa terima kasih yang besar pada Laras. Tak mampu dipungkiri, apa yang Laras lakukan adalah bentuk perhatian kecil yang telah memantik banyak percik haru di hati.

"Mbak Laras ke kebun?" tanya saya pada Damar ketika kami sudah ada di meja makan, menyantap sarapan.

"Iya, Mas. Pagi-pagi sekali, setelah masak, Mbak Laras langsung pamit ke kebun," jawab Damar, kemudian terlihat menyuap lahap sup daging sapi hangat dalam mangkuknya.

Kalau di Jakarta, Hawa sibuk mengurusi Floraspace—salah satu florist utama yang mendapat suplai bunga-bunga dari kebun—maka Laras adalah yang bertanggung jawab penuh di sektor hulu. Sebut saja Florafarm, adalah kebun bunga dan herbs mediterania milik keluarga kami yang dari beberapa tahun sebelumnya telah dikepalai oleh Laras.

Florafarm, tempat itu punya banyak mimpi dan hal-hal yang Bapak cintai, dirintis semenjak Beliau masih aktif sebagai dosen hortikultura di fakultas pertanian. Semua dengan sabar telah Bapak kerjakan hingga akhirnya berkembang pesat seperti sekarang. Meski kini, luas lahan itu sudah tidak sebesar sebelumnya karena beberapa bagian terpaksa dijual untuk menutupi banyak biaya yang dikeluarkan pasca kecelakaan, Florafarm masih tidak kehilangan nyawa dan semangatnya. Dan, tempat itu masih terus menghidupi kami hingga detik ini.

Awalnya, lahan itu dan vila ini adalah tanah warisan dari Almarhumah Eyang Putri untuk Bapak. Semasa hidupnya, amanah itu telah dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya oleh Bapak. Dan kini, kepemilikannya telah berganti untuk kami bertiga. Hanya saja sedari awal, dari sebelum Bapak meninggal, Laras memang telah ditunjuk untuk mengurusi banyak hal dan bertanggung jawab di sini. Dia si anak sulung yang mengemban banyak harapan bapak di pundaknya.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang