Trigger warning: Contains explicit descriptions about mental issues, suicidal thoughts, disability, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
"Mas, ayo sedikit lagi, ya? Satu suap lagi. Mas tadi baru makan tiga suap, lho."
Saya menggeleng pelan, lalu berujar, "Sudah, Mar. Saya nggak pengin."
Sendok yang setengah tenggelam dalam kuah sup ayam buatan laras, tak ingin saya angkat lagi. Nasi yang diletakkan di wadah terpisah itu pun, bahkan belum tandas seperempat bagian. Sungguh, bukannya saya sama sekali tidak menghargai masakan Laras. Hanya saja, sedari sarapan pagi, nafsu makan saya rasanya sudah menguap entah ke mana. Dan rasa bergolak di perut yang timbul setiap kali makanan masuk, makin membuat saya tersiksa.
Damar pun akhirnya menyerah, tak lagi memaksa. Overbed table di hadapan saya, kemudian ia tepikan. Sisa-sisa makanan yang belum tandas pun, ia bereskan. Tak lupa ia menyuruh saya untuk meminum lagi air madu hangat yang baru saja ia buatkan.
Saya paham, ia hanya bermaksud menambah energi di tubuh ini dengan minuman itu. Mungkin merasa takut kalau saya tiba-tiba saja pingsan karena kehabisan tenaga ataupun gula darah yang terlampau rendah.
"Mar, maaf boleh tolong kursi roda saya?" pinta saya, merujuk pada si Kaki Kedua yang sedari pagi hanya terdiam di sudut kamar.
"Mas Hasta mau keluar sebentar?" tanya Damar memastikan
Saya mengangguk sederhana seraya berkata, "Saya mau lihat hujan."
Saya menerka, ini pasti akan terdengar aneh di telinga Damar. Entah, mungkinkah sakit bisa membuat seseorang punya keinginan yang aneh-aneh seperti ini? Selain merasa lelah karena terus-terusan berbaring di ranjang, saya kala itu hanya ingin menikmati wangi petrikor di luar sana.
"Mas kalau sudah capek segera istirahat lagi saja, ya," pesan Damar seraya merapikan cashmere blanket abu-abu yang menutupi pangkuan dan tungkai kaki saya.
Saya kemudian hanya mengangguk samar tanda setuju. Dan untuk kali ini, saya membiarkan Damar mendorong kursi roda keluar kamar.
"Yang di depan itu siapa, Mar?" tanya saya spontan.
Tatkala kursi roda bergulir melewati ruang tamu, saya sekilas mendapati pintu masuk yang mengarah ke teras depan terlihat terbuka setengah bagian. Terdengar pula dua orang yang samar-samar tengah mengobrol dalam bahasa Jawa.
"Oh, itu tukang yang baru hari ini kerja, Mas."
"Tukang?"
"Iya, saya juga kurang tahu sedang kerjakan apa. Tapi tadi, sebelum berangkat, Mbak Laras memang sudah pesan kalau ada tukang yang mau datang," jelas Damar. "Mereka tadi baru mau mulai kerjakan sesuatu di teras. Tapi kayaknya lagi berhenti dulu sebentar karena hujan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...