Trigger warning: Contains explicit descriptions about disability, suicidal thoughts, mental issue, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
"Oops. Oke, pelan-pelan, Mas. Nggak apa-apa."
Damar berujar sabar seraya menahan tubuh saya yang hampir kehilangan keseimbangan dan hendak limbung ke kanan.
"Sebetulnya posisi kursi rodanya masih agak kejauhan sedikit. Masnya boleh coba dekatkan lagi seperti ini, ya."
Si Perawat Muda memberi instruksi yang lebih jelas seraya membuat peragaan. Ada kesan penuh pengertian dan pemakluman dalam nada suara dan gesturnya. Saya pun kemudian memberi anggukan tanda paham, setuju dengan poin koreksi Damar.
"Sebentar, kita coba sekali lagi, ya." Dan kemudian, Damar kembali memberi tanda kalau saya harus memulai simulasi transfer ini dari awal.
Satu siang di hari Minggu ini, kembali diisi dengan latihan kecil yang diberikan oleh Damar untuk saya. Kali ini, adalah gilaran untuk berlatih transfer dari sofa ke kursi roda ataupun sebaliknya.
Sudah hampir satu minggu belakangan, saya memang tengah menjalani beberapa latihan skill dasar pengguna kursi roda yang dari beberapa bulan lalu tidak pernah lelah Damar sarankan. Dan sudah hampir satu minggu belakangan pula, saya pun akhirnya membiarkan Damar menjalankan salah satu tugas pokoknya sebagai seorang perawat homecare yang kompeten—membantu pasiennya untuk lebih independen.
Perasaan kesal karena kerap merepotkan orang lain dan sulit melakukan banyak hal sederhana, sebetulnya adalah hal-hal utama yang kemudian memantik keinginan saya untuk setidaknya ... mencoba. Dan akhirnya, meski masih memiliki beberapa penyangkalan di batin, saya pun tidak punya pilihan selain mengizinkan diri ini untuk setidaknya berusaha.
Setiap hari, sudah mulai jadi rutinas saya untuk mengikuti jadwal latihan khusus yang telah diatur Damar. Satu per satu, tahap demi tahap, saya berlatih skill-skill teknis untuk kegiatan sehari-hari yang sekiranya sederhana, yang frekuensinya tergolong sering, dan yang sekiranya saat ini paling kompatibel dengan ketahanan fisik dan tingkat cedera saya.
Dengan teknik memposisikan tubuh yang lebih sesuai, saya mengulang dari awal bagaimana caranya bangkit sendiri dari posisi berbaring ataupun melakukan reposisi ketika tidur malam. Dengan tahap-tahap yang lebih minim risiko terjatuh, saya belajar lagi bagaimana melakukan transfer, seperti dari kasur ke kursi roda (atau sebaliknya). Kegiatan dasar lain yang ranahnya lebih pribadi, seperti mengenakan pakaian dan self hygiene, juga tak lupa Damar ajarkan.
"Hasta! Ayo, yang semangat latihannya. Mbak lagi bikinin bolu pandan kukus kesukaanmu, nih. Nanti habis latihan, kita ngeteh bertiga sambil ngemil ya."
Seruan riang Laras terdengar dari arah pantry, membuat saya dan Damar kompak menoleh. Kami berdua pun tak mampu menahan senyuman. Laras terdengar seperti ibu-ibu yang sedang membujuk anak kecilnya untuk mengerjakan PR dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...