Trigger warning: Contains explicit descriptions about mental issues, suicidal thoughts, disability, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
Sekian lama, saya melihat lagi pemandangan kelam yang tidak ada habisnya. Saya tengah berlari di antara bayang-bayang pepohonan tinggi dan di bawah naungan langit yang kelabu. Berlari tiada henti hingga napas terasa akan penyap. Saya ketakutan, tapi tidak paham bagaimana caranya menjelaskan.
Sampai akhirnya, sesuatu menjerat kedua kaki. Saya lantas terjatuh. Inginnya bangkit begitu saja. Namun sayang, saya tidak mampu. Kaki ini seperti dipasung oleh tali temali dan rantai tak kasat mata. Seiring langit yang terus berubah gelap, kengerian itu semakin terasa nyata. Saya tidak bisa begini, harus melepaskan diri, karena sesuatu yang menakutkan masih terus mengejar. Tapi bagaimana caranya? Kaki bahkan kian terasa berat dan tidak mau bergerak.
Gagak-gagak di antara pepohonan terdengar nyaring bersahutan—layaknya menyanyikan kidung kematian paling kelam. Di tengah ketakutan yang sudah tidak terjelaskan, sosok Bapak dan Ibu tampak di kejauhan. Sejenak, saya merasa bahagia dan lega karena kehadiran mereka. Namun dengan cepat pula, perasaan baik itu sirna ketika melihat tubuh mereka lesap perlahan seperti butiran debu yang tertiup angin. Betul-betul hilang, tanpa penjelasan.
Sungguh, saya ingin menyusul mereka, ingin lari dari hal-hal mengerikan yang terus mengejar, tapi tidak bisa. Kaki ini pun sudah tidak mau lagi diajak bergerak. Belenggu takkasat mata itu coba saya cari dan raba, tapi tiada yang saya temukan. Hingga akhirnya sebentuk tangan menghentikan usaha saya. Laras ternyata telah hadir di sisi, menatap saya dengan pandangan mata yang sedih.
Saya terus bertanya pada dirinya akan apa yang sedang terjadi, dan ke mana perginya orang tua kami. Namun, tak ada jawaban dari mulutnya. Tak lama, ekspresi wajah Laras berubah, tampak seperti orang yang tengah melihat sesuatu yang menjijikkan dan harus segera ditinggalkan.
Lagi, saya kembali ditelan kengerian ketika sosok Laras tampak pudar dari hadapan saya. Dirinya sirna perlahan seperti serpihan abu yang diterbangkan air, buyar begitu saja tanpa bisa saya cegah. Pemandangan di sekeliling saya kian berubah gelap seiring sosok Laras tampak semakin tak mampu digenggam. Inginnya berteriak memanggil namanya, tapi tiada suara yang keluar dari tenggorokan ini. Inginnya memohon pada dirinya untuk tetap tinggal dan membantu saya melepaskan penderitaan ini, tapi sayangnya ia akan segera lesap bak asap di udara.
"Mas Hasta?"
Suara itu terdengar samar saat tubuh ini terasa terhempas dari tempat yang begitu tinggi dan masuk ke dalam lubang hitam yang dalam. Dingin, semua ketakutan ini menjelma rasa dingin yang membuat hati menggigil gemetar.
"Mas?"
"Damar," panggil saya ketika mata ini samar-samar mendapati sosoknya di hadapan saya. Diikuti napas yang masih terasa pendek dan tersengal-sengal, saya mencoba menggapai lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...