Silakan dibaca pelan-pelan, supaya tidak ada yang terlewat. Jangan lupa luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah.
-:-:-
"Happy birthday!"
Seruan riang itu sontak memenuhi ruangan kamar tidur ini, membuat saya dan Hawa yang tadinya tengah asyik mengobrol, menoleh. Ketika pandangan mata ini bergulir ke arah daun pintu kamar, mendadak senyuman ini pun, tidak mampu tertahan.
"Mbak Dewi."
Saya langsung menyapa sosok yang selama ini lebih sering saya jumpai lewat sambungan panggilan video daring ketimbang pertemuan luring. Dewi, perempuan ramah berambut potongan bob—leader dari divisi pemasaran di Floraspace—membawakan kejutan yang sangat tidak disangka-sangka di hari ulang tahun saya dan Hawa yang jatuh bertepatan dengan hari Ibu itu. Ia bahkan tidak datang sendiri, tapi juga mengajak dua orang rekan lain, Wisnu dan Dara.
Dewi bersama Wisnu dan Dara perlahan memasuki kamar. Satu loyang kue tart cokelat tampak berada di tangannya dengan lilin-lilin yang menyala temaram. Senyuman dan tawa riang mereka seketika kian menghidupkan suasana kamar ini.
"Ya, ampun. Ngagetin aja kalian."
Kamu menukas ketika tiga rekan baik kita itu akhirnya sudah tiba di sebelah ranjang saya. Kamu ternyata juga tidak kalah terkejutnya, Hawa.
"Mas Wisnu sama Dara tuh biang keroknya," tunjuk Dewi pada dua anak buah yang malah cengar-cengir iseng di sebelahnya.
Tadi pagi, Dewi memang sempat mengontak saya dan Hawa tentang rencana untuk berkunjung ke rumah dalam rangka menjenguk saya. Dengan senang hati, kami berdua lantas mengiyakan. Sama sekali tidak ada pikiran aneh apa pun soal kedatangan Dewi.
"Tadi kirain mau jenguk doang, eh malah bawa kejutan," sambung saya, masih merasa cukup kaget sekaligus senang di saat bersamaan.
Jujur, ini sebetulnya adalah kejutan kedua di hari ulang tahun saya dan Hawa setelah tadi pagi Laras, Damar, dan Cahyo sudah lebih dulu memberi perayaan kecil-kecilan. Hari ulang tahun yang sebenarnya sudah hampir terlupakan oleh kami berdua.
"Ayo, Bu Ratna sama Mas Hasta. Ditiup dulu lilinnya," ujar Dara, si cewek berbadan mungil dengan rambut kuncir kuda dan kacamata itu.
Dewi kemudian menyodorkan kue tart dengan lilin-lilin yang menyala itu lebih dekat ke hadapan saya dan Hawa. Kita berdua lalu memejamkan mata sebentar. Dalam hati, sama-sama memohon doa-doa baik pada Sang Kuasa.
Dua puluh empat tahun, Hawa. Tidak terasa. Setahun lalu, ketika kehilangan dan trauma masih begitu membekas, rasanya saya tidak mau berharap banyak kalau akan mampu melanjutkan kehidupan sampai sejauh ini. Namun, rencana Tuhan siapa yang tahu. Saya masih bisa melihat diri ini bertahan sampai saat ini, melihatmu yang juga perlahan pulih sampai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...