A Promise

754 50 14
                                    

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Mbak Laras! Ya, Tuhan".

"Sejak kapan begini, Mas?"

"Mas Hasta nggak apa-apa?"

"Maaf sekali, ya, Mas. Tadi saya keluar vila sebentar setelah telepon Ibu."

Itulah reaksi pertama yang saya ingat dari Damar tatkala dirinya telah kembali ke dalam vila dan menemukan saya yang sudah terseok di lantai serta Laras yang tengah tak sadarkan diri. Beruntung, Damar tiba tidak lama. Sehingga, Laras bisa segera diperiksa tanda vitalnya. Setelahnya, Damar bahkan berinisiatif memanggil seorang dokter umum yang tempat praktek mandirinya memang tidak jauh dari vila dan sudah terbiasa diandalkan oleh warga.

Beberapa menit setelah tumbang, Laras memang sempat sadar dan membuka mata. Namun, hanya sebentar. Dan hanya ada sedikit hal yang ia katakan. Meski begitu, tidak didapati masalah serius dengan tubuhnya. Laras masih mampu mengenali sekitarnya dengan sangat baik dan berinteraksi.

"Makasih, ya."

"Mbak cuma pengin minta ke kamu untuk tetap optimis."

"Sering-sering senyum seperti tadi. Sering-sering ketawa."

"Mbak nggak mau kalau kamu sampai pergi juga."

"Bertahan, Has."

"Mbak di sini."

Kalimat-kalimat penuh pengertian dan kasih itu kembali terngiang dalam ruang ingatan, menjelma renungan panjang. Sementara, pandangan ini tak lepas dari seraut wajah tenang dengan mata memejam. Dua jam berlalu, dan Laras masih tampak begitu tenteram dalam tidurnya.

Laras pasti kelelahan. Tidak hanya raga, tapi juga jiwa. Walaupun ia sama sekali tidak mengatakannya, tapi melihat keadaannya yang seperti ini, saya yakin jika Laras memang telah memendam semua ini sendiri terlalu lama.  

"Has," panggil Laras, terdengar parau.

Saya sontak menegakkan tubuh tatkala sentuhan lemah jemarinya menjamah lengan saya. Handrim saya kayuh sedikit, membuat kursi roda kian merapat ke sebelah ranjang. Hati ini seketika lega melihat Laras mulai mengerjapkan dan membuka mata.

"Mbak Laras."

Saya kemudian menyambut jemarinya, meremasnya dengan lembut. Belum ingin banyak bertanya dan bicara, saya biarkan Laras mengedarkan pandangan, mencerna situasi lebih dahulu. Saya tahu, dia butuh waktu.

"Mbak tadi kenapa ya? Tidur lama ya, Has? Ini jam berapa?" tanya Laras ketika pandangannya mencermati sebelah lengannya yang sudah tertancap infus.

"Mbak tadi kan sempat pingsan di pantry. Terus, Mbak Laras bangun sebentar. Tapi mungkin Mbak Laras masih lemas, jadi Mbak tidur lagi. Sekarang sudah jam tujuh malam," jelas saya, berusaha tetap tenang, tidak menunjukkan raut cemas.

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang