Someone You Can Rely On

614 39 6
                                    

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.

-:-:-

"Has, sudah belum?" 

Seruan dirimu terdengar dari luar daun pintu kamar. Sepertinya kamu sudah siap, Hawa. 

Saya kemudian menyahut dari dalam, memintamu untuk menunggu beberapa menit lagi. Sungguh, padahal tinggal sedikit lagi saya selesai bersiap-siap. Tapi sayang, spasme ini malah kembali membuat saya agak kesulitan ketika hendak memakai sepatu.

Di tengah situasi semacam itu, saya lantas tersenyum miring. Ada satu hal lucu yang mendadak terlintas dalam pikiran. Kalau dulu saya sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini seringnya dibuat menunggu oleh kakak-kakak perempuan ketika hendak pergi bersama, kini justru agak berbeda.

Setelah kelumpuhan melanda, kamu atau Mbak Laras justru harus  bertoleransi dengan saya, Hawa. Saya mungkin akan lebih sering membutuhkan waktu lebih lama ketika bersiap-siap hendak pergi keluar rumah. Bahkan untuk urusan mandi sekali pun, sekarang saya bisa lebih lelet dari perempuan.

Sekali lagi, saya mematut diri di cermin. Batik formal dan celana bahan sudah melekat rapi di badan. Satu renungan singkat lantas terlintas dalam pikiran.

Beberapa bulan lalu, saya selalu benci tiap kali memandang refleksi diri di cermin. Duduk di kursi roda, tidak bisa berjalan lagi. Melihat betapa berbedanya keadaan tubuh ini pernah membuat saya selalu merasa seperti tengah mengejek diri sendiri, Hawa. Bahkan saking bencinya saya dengan tubuh ini, saya sampai nekat melakukan hal mengerikan.

Sekilas, saya berusaha mengembangkan senyum. Jemari ini mengelus perlahan bagian lutut. Sedikit demi sedikit, setiap hari, saya tengah belajar untuk tidak menyesali apa yang telah terjadi, menatap tegas diri ini tanpa ingin mengasihani.

"Sori lama," ucap saya, tatkala kursi roda bergulir keluar kamar dan saya menghampirimu di ruang tengah.

Kamu, yang tampak sudah rapi dengan atasan berbahan brukat warna salem dan bawahan kain batik tulis khas Jogja, lantas menoleh, bangkit dari sofa yang kamu duduki. Rambut bergelombangmu terlihat sudah ditata dengan gelungan sederhana yang manis. Wajahmu pun kelihatan lebih segar dengan pulas riasan gaya natural yang lembut. Rasanya sudah lama tidak melihatmu yang seperti ini, Hawa.

Pandanganmu tampak terpaku sejenak pada mata saya, lalu bergulir melihat baju dan sepatu yang saya kenakan.

"Kenapa, Wa?" tanya saya heran. Tangan ini lalu mengibas di depan wajahmu satu kali.

Dan lalu, mata ini pun jadi ikut memindai satu per satu baju batik formal, celana bahan, dan sepatu pantofel yang saya kenakan. Jaga-jaga kalau memang ada yang kotor atau berantakan.

Bulu matamu bergetar, Kamu lantas mengerjap cepat, "Nggak, nggak kenapa-kenapa," ujarmu setengah terbata.

Satu pikiran lucu muncul begitu saja dalam kepala. Seulas senyuman usil pun saya dermakan padamu. "Kenapa? Pangling ya lihat kembarannya pakai batik rapi begini? Ganteng?"

Slow Days (FIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang