Kurang lebih enam setengah bulan lamanya, cerita ini akhirnya usai. Alhamdulillah, puji syukur. Kalau nggak karena kuasa Allah, semua ini nggak akan pernah tersaji di depan kalian semua. Terima kasih untuk enam setengah bulan yang luar biasa ini. Kalian juga sudah sepenuh hati menemani saya dan Hasta di pelayaran yang sama sekali nggak mudah ini dari mulai 25 Agustus 2023 sampai 14 Maret 2024.
"Jalan terbaik itu, tidak selalu berupa jalan yang mulus."
Wejangan ini sebetulnya saya dapatkan dari Papa saya ketika waktu itu sedang bicara empat mata dengan beliau. Sore itu, akhir pekan, saya kebetulan sedang bingung untuk menyusun bab-bab terakhir dari Slow Days. Pikiran saya buntu, betul-betul tidak tahu harus mulai dari mana.
Akhirnya saya memutuskan untuk rehat sambil ngobrol sebentar dengan Papa. Kebetulan saya merasa sudah lama tidak membicarakan hal-hal yang sekiranya intim dan serius dengan beliau. Dan sebetulnya (kalau boleh saya curhat), semenjak tiga novel terakhir yang saya tamatkan, ketika kesulitan untuk menyelesaikan bab-bab terakhir novel, saya punya kebiasaan untuk berbincang dengan orang-orang terdekat (terutama dengan Papa). Kegiatan semacam ini saya anggap sebagai bentuk penyegaran pikiran setelah lelah memikirkan begitu banyak jalan cerita.
Saya tidak bicara terang-terangan dengan mereka kalau saya sedang nulis novel dan kesulitan menamatkannya, tapi saya hanya mengambil kesempatan untuk mengobrol dan membicarakan hal-hal intim dengan mereka, dan biasanya dari obrolan itu akan ada inspirasi dan ide-ide yang 'njedul', lah. Dan kemudian, keluarlah wejangan itu.
"Jalan terbaik itu, tidak selalu berupa jalan yang mulus."
Kedengarannya mungkin sangat biasa. Tapi di momen itu ketika saya mendengarkannya, jujur saya tertegun. Pikiran saya langsung ingat Hasta. Nasihat yang mungkin kedengaran sepele di telinga orang kebanyakan, tapi kalau ditempatkan dalam kacamata seorang Hasta, nggak akan jadi sesepele itu. Dia adalah tokoh yang mungkin sepanjang hidupnya harus melalui jalan yang tidak mulus itu. Di usia semuda itu kehidupannya berubah 180 derajat.
Ketika mulai menulis prequel ini, nggak pernah terpikirkan sedikit pun di benak saya, kalau tokoh yang namanya 'Hasta', penggambaran karakternya akan jadi lumayan "dalam" seperti ini. Di enam tahun lalu, waktu saya pertama kali menulis 'Di Atas Rasa', Hasta belum pernah sekali pun saya gali dalam-dalam masa lalunya. Apa yang dulu dia lalui pasca kecelakaan, belum pernah saya ketahui seserius ini. Dia baru cerita ke saya sekarang, tuh. Sempat-sempatnya malah meledek saya karena katanya saya selama ini kurang peka😂
Dia itu tokoh yang ketika pertama kali saya temui adalah Hasta yang sudah tenang emosi dan perangainya, yang tahu bagaimana bersikap di depan orang banyak, yang bentuk tubuh dan pikirannya sudah bertransformasi sebegitu baik selama lima tahun, yang nggak lagi sering-sering galau dan nangis. Kalaupun nangis, dia nggak pernah sampai hati mau nunjukin di depan orang lain. Bilang 'sakit' pun hampir nggak pernah. Dulu saya sampai mikir, pria satu ini terbuat dari apa sih? Sebegitu berkesannya kah dia? Kok Naya bisa jatuh cinta dan sampai sesayang itu sama dia? Dan kenapa Hawa bisa sampai seprotektif itu sama dia? Alasannya apa?
Barulah saya tahu jawabannya ketika kenalan sama "Hasta yang lain" di Slow Days ini. Dan saya sempat kaget waktu tahu gimana keadaan fisik dan psikis dia pas awal-awal pasca kecelakaan. Beda banget dengan ketika saya nulis karakter dia di novel sebelumnya. Saya yakin, kalian pasti juga banyak yang kaget, 'kan? Hayo ngaku aja🥲🫵
Saya juga nggak kalah kaget gimana tokoh-tokoh sampingan yang tadinya di novel 'Di Atas Rasa' itu perannya minor banget, di 'Slow Days' mereka justru jadi banyak pegang peran kunci. Mereka yang akhirnya jadi dominan membantu membentuk karakter Hasta di masa depan. Mbak Laras dan Damar contohnya. Saya senang banget bisa kenalan lebih dekat sama dua orang penyabar itu. Kuharap kalian juga senang kenalan dengan mereka, ya🥺🙏🏻
Alhamdulillah, semua tokoh di sana kayak benar-benar terasa real lagi kerjasama untuk pulih dari trauma, jadi support system buat masing-masingnya, terutama buat Hasta. Saya bisa merasakan gimana peran mereka hampir semuanya rata. Dan semoga kalian juga merasakan hal yang sama :)
Salah satu hal yang paling menyenangkan lain dari menulis prequel ini adalah ketika pembaca yang sebelumnya sudah pernah singgah di novel 'Di Atas Rasa', akhirnya nggak mau ketinggalan untuk ngikutin "Slow Days" juga. Aku memperhatikan lho readers lama yang bermunculan lagi dan kasih apresiasi di cerita kali ini. Seneng banget. Terima kasih banyak, ya🥺
Dan buat readers baru, terima kasih sudah mau kenalan sama Mas Hasta dkk untuk pertama kalinya. Bahkan ada di antara readers baru yang malah jadi kepo buat baca 'Di Atas Rasa' gegera prequel ini. Yang akhirnya memutuskan untuk membeli novelnya pun ada. Uuuh terharu luar biasa. Terima kasih banyak untuk dukungannya, ya.
Jujur, sejauh ini berkarya sebagai amatiran, Slow Days adalah salah satu cerita paling berkesan yang pernah saya tulis. Berkesan karena pertama kalinya bikin prequel. Berkesan karena akhirnya bisa ketemu lagi dengan tokoh pertama di novel pertama. Berkesan karena saya betul-betul "harus jadi dia", nulis pakai POV 1, dan harus berperan jadi cowok yang sedihnya minta ampun. Ini cukup gila dan menguras banyak emosi😭 Tapi, saya puas ehehehe
Dan kalian tahu? Tiap saya ngetik cerita ini, seolah-olah suaranya Hasta yang tenang itu kayak lagi masuk ke kuping saya, terus dia ngomong dan cerita banyak hal di dekat saya. Yeah, just tell me I'm a real delulu (Tapi serius deh, memang bisa kerasa sampai segitunya😭)
Sudah nggak tahu lagi gimana saya tiba-tiba bisa jadi mellow sendiri waktu nulis cerita ini. Dan sudah nggak tahu lagi gimana saya akhirnya jadi banyak merenungkan diri sendiri sewaktu menulis perihal Hasta. Lewat dia, saya jadi belajar lagi untuk nggak menghakimi masa lalu. Lewat Hasta juga, saya belajar untuk lebih berempati.
Dan akhirnya, sudah nggak terhitung lagi gimana terharunya saya tiap kali baca komentar-komentar dan kesan kalian di bab-bab wattpad ataupun di DM. Pasti ada saja komentar dan dukungan kalian yang bikin terharu😭
Untuk yang terakhir, adakah pesan dan kesan yang mau kalian sampaikan buat cerita ini? Atau mungkin ada yang mau disampaikan buat tokoh-tokohnya? Adakah momen-momen berkesan di Slow Days ini yang mau kalian ceritakan? Silakan tulis di kolom komentar, ya. Saya, Hasta, Hawa, Mbak Laras, Damar, Mas Cahyo, dst. akan senang sekali untuk bacanya.
Terakhir, sekali lagi saya mau ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya untuk semua dukungan pembaca. Terima kasih sudah mau menemani Hasta dan keluarganya melewati banyak hari-hari lambat yang penuh kejutan luar biasa.
Untuk extra part, saya belum tahu bisa dibikin kapan. Karena untuk sementara waktu, saya butuh pulih dari perasaan kekosongan setelah menamatkan cerita ini😭🙏🏻 Tapi tenang, saya beneran sudah ada niatan, kok.
Saya juga bisa kasih bocoran kalau di extra part nanti akan muncul tokoh yang nggak disangka-sangka bakal nemenin Hasta (dan saya yakin kalian pasti juga kangen banget sama tokoh satu itu🥰). Jadi, semoga kalian bakal tetap semangat nungguin extra part ini, ya. Doakan, semoga saya lancar nulisnya dan bisa kasih kalian satu kejutan lagi yang nggak kalah berkesan.
Kalau ada kritik dan saran yang mau disampaikan soal cerita ini, silakan tulis di kolom komentar, tempel di wall wattpad, boleh juga kirim DM IG. Saya sangat terbuka untuk itu. Semoga kita bisa jumpa lagi di karya berikutnya. Btw, kalian dapat peluk hangat dari Mas Hasta dkk.
XOXO
Ambar
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...