Trigger warning: Contains explicit descriptions about mental issues, suicidal thoughts, disability, upsetting scenes, and traumatic events.
Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-
"Mbak Laras, maaf, ya, Mbak."
Sekali lagi, kalimat penyesalan itu terlontar selepas saya kembali memuntahkan isi perut yang tidak seberapa—hanya didominasi oleh cairan dan sedikit sisa makanan. Saya yang sudah tidak kuat lagi mengangkat tubuh dari atas tilam pun, berakhir mengotori lantai dengan muntahan dan harus membuat Laras kerepotan.
"Hei, nggak apa-apa, Hasta. Jangan ngomong begitu, ya," sanggah Laras seraya membersihkan pinggiran bibir ini dengan selembar tisu.
"Ya, sudah. Kalau nggak kuat, jangan dipaksa. Perutnya pasti nggak enak semua, ya?"
Siang itu, lambung ini memang baru saja diisi sedikit oleh makanan, tetapi mual dengan cepat serasa bergolak tanpa ampun di dalam rongganya. Aneh, padahal Damar dan Laras sudah membantu saya mengeluarkan banyak muatan usus yang tersendat di pagi tadi. Namun tetap saja, saya tidak begitu merasakan perubahan berarti di tubuh ini. Bahkan, demam yang tengah saya alami ini justru terasa semakin menjadi-jadi.
Laras hari itu betul-betul tidak pergi ke Florafarm. Beberapa kali dia hanya berkata dengan sederhana kalau ingin menemani saya. Namun yang saya rasakan, keadaan saya yang tidak ada perubahan positifnya ini, justru hanya membuatnya terus-terusan kerepotan.
"Hasta, boleh ya Mbak bantu kompres sebentar punggungnya?"
Saya lantas hanya mengangguk samar mendengar tawaran Laras. Sebentar saja, saya memang butuh sedikit lagi bantuan. Sungguh, sekujur tubuh ini kian disesaki oleh perasaan tidak nyaman dan nyeri hebat yang tidak berkesudahan. Bagian sekitaran pinggang dan punggung bagian tengah adalah yang saya terka paling parah siksaannya. Nyeri dan perasaan seperti terbakar tidak henti meradang di sana.
"Merah ya, Mbak? Panas kah punggungnya?" tanya saya spontan tatkala Laras sudah mulai menaruh kain yang sudah dibasahi air hangat di punggung.
"Lumayan," jawab Laras tenang. "Sebelah sini, yang di bekas operasi ini, sakit semua, 'kah? Sabar sebentar, ya? Mungkin setelah kompres, nyerinya bisa berkurang."
Saya kemudian hanya menanggapi semua ucapan Laras dengan kesunyian. Kembali, saya pun membiarkan diri ini tenggelam dalam tiap utas sentuhan dan perhatiannya yang terasa seperti pengganti milik Ibu.
"Capek?" tanya Laras ketika di setangah jam berikutnya ia tengah membantu saya duduk sebentar di ranjang tanpa bersandar.
Saya lantas menggeleng samar, menangkis terkaan Laras yang sebenarnya tepat.
"Tahan sebentar lagi, ya? Hasta nggak boleh baring terus. Sesekali harus duduk sebentar."
Saya kembali mengiyakan tanpa protes. Meski kata 'sebentar' yang sedari tadi kerap keluar dari mulut Laras adalah 'sebentar' yang menurut ukuran tubuh ini terasa agak menyiksa, saya lantas hanya kembali menerimanya. Saya paham, yang Laras lakukan semata-mata hanya ingin menghindarkan saya dari hal-hal buruk lain yang bisa saja terjadi, seperti bedsores ataupun kram yang hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...