Trigger warning: Suicidal thoughts, mental issue. Contains explicit descriptions about disability, upsetting scenes, and traumatic events.Luangkan waktumu beberapa detik untuk klik tanda bintang di kiri bawah layar.
-:-:-Saya terbangun mendapati langit-langit putih di atas kepala dan bunyi rintik air yang teredam. Dua indra yang paling dini terjaga segera membuat otak menafsirkan keadaan. Seperti halnya dua hari lalu, Tawangmangu kembali diguyur hujan.
Sisa-sisa keletihan yang tak pernah tuntas di malam sebelumnya masih meninggalkan residu di kepala. Kaku, separuh tubuh ini pun dibalut rasa kebas yang tidak terjelaskan. Lama saya terdiam, hanya mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat pagi yang kembali datang dengan kenyataan masam. Pagi yang sudah sama sekali berbeda ketimbang pagi-pagi di tujuh bulan sebelumnya. Pagi yang saya rasa hanya akan berkisar pada putaran waktu yang terasa lambat dan hal-hal yang tidak sederhana.
Saya beringsut pelan, hendak berpindah posisi. Namun rasanya, saya salah perhitungan, dan memang bisa dibilang separuh tubuh ini juga sudah tidak tahu aturan. Gerakan kecil seperti tadi akan dengan mudahnya menyulut sentakan-sentakan tidak jelas pada kedua kaki. Mereka berontak tanpa ada kendali dari otak.
Kesah lelah terluncur dari bibir. Terima saja, ini bagian dari hidup yang baru. Begitulah saya berusaha berbisik pada hati tiap kali menemui fenomena aneh pada tubuh ini di beberapa bulan terakhir. Memang, dokter telah memberi penjelasan serta pengertian. Meski begitu, menjadi terbiasa bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Sebisanya, saya kemudian mencoba meredakan sentakan-sentakan yang kian liar dengan menekuk lutut dan melakukan beberapa gerakan peregangan. Namun, di satu titik, lengan dan separuh tubuh yang masih lemah ini kian malas diajak kompromi, kelelahan.
Bulir peluh kecil terasa mengucur pelan di pelipis. Memilih menyerah, saya pun kembali membanting punggung ke atas kasur. Cukup lama, mata ini kemudian hanya menyorot pandangan kosong pada sepasang tungkai yang kini sudah tersingkap dari balik selimut. Tremor hebat pun kemudian membuatnya tampak kian liar.
Belum sempat diri ini berhasil tenang, satu sengatan nyeri muncul, serasa hendak mencabik tungkai dan tulang-tulang. Saya meringis tipis seraya memiringkan tubuh, bergumul dengan rasa sakit yang selamanya akan jadi bagian dari hidup.
Biar saya perjelas. Ini bukan nyeri yang bisa terselesaikan. Sum-sum tulang belakang yang ada di tubuh ini bukan lagi lajur bebas hambatan yang akan menghubungkan perintah otak dengan alat gerak. Sudah rusak. Kini, yang tersisa hanya sinyal-sinyal "salah sambung" yang terputus di tengah jalan. Inilah yang disebut Dokter dengan diagnosis spinal chord injury, alias cedera sumsum tulang belakang. Dialah sebab-musabab bagi fungsi-fungsi di separuh tubuh ini yang bisa dibilang sudah berantakan. Dan, nyeri-nyeri tadi hanyalah satu dari banyak manifestasinya—yang setiap saat dan seumur hidup harus saya emban.
Dalam hati, berkali-kali saya rapalkan nama Tuhan. Pagi ini rasanya tubuh saya berulah lebih gila dari biasanya. Saya pun akhirnya mengerang tidak tahan karena nyeri kian terasa kencang. Mau kesal pun tidak ada guna. Biar saja, lakukan sesukanya. Sepasang kaki lumpuh itu memang tidak akan pernah lagi mengikuti perintah otak saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Days (FIN)
General FictionTujuh bulan semenjak kehilangan orangtua, pekerjaan pertama, dan mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan, saya memutuskan mengasing di vila keluarga. Di sini, saya menyepi, mengurung diri sembari mencoba mengumpulkan keberanian untuk melihat hari-har...