***
Setelah pertemuannya dengan pemuda bernama Jinandra itu sedikit memupuk harapan Harvey tentang keberadaan Mika. Selama ia belum menemukan makam gadis itu, ia tidak akan pernah menyerah pada keadaan.
"Harv, aku panggil panggil kamu dari tadi."
Harvey mendengus kasar setelah gadis itu duduk di sampingnya.
"Lo pergi atau gue yang pergi."
"Aku cuma mau anterin ini kok. Menu baru yang aku buat khusus buat kamu. Semoga kamu suka rasanya ya." Ujar Kania penuh binar harap di wajahnya.
"Berapa kali gue bilang sama Lo buat berhenti ada di deket gue, hah?! Gue muak liat wajah polos Lo itu. Rasanya gue pengen habisin si brengsek Rayyan detik ini juga tiap liat wajah Lo yang selalu berkeliaran di deket gue."
"Harvey, harus nya aku ngomong ini dari lama. Harusnya aku yang marah sama kamu karena kamu yang bunuh papa aku Harvey. Kamu bunuh papa aku!" Kania yang semula penuh binar bahagian kini mulai tersulut emosinya. Dengan senyum getir menghiasi wajah gadis itu.
Harvey tertawa sumbang. Lelucon macam apa yang ia dengar saat ini. Pemuda itu menjentikkan jari tangannya ke depan wajah gadis itu.
"Lo baru bangun tidur? Atas dasar apa Lo nuduh gue lenyapin bokab Lo, hah?!" Harvey tergerak maju membuat Kania mau tak mau bergerak mundur. Aura hitam mencekam itu sangat dapat Kania rasakan. Entah keberanian dari mana ia mengatakan hal itu pada Harvey yang lambat laun semakin dingin dan kejam.
Tangan Harvey tak diam begitu saja. Tangan itu mendorong bahu Kania hingga sang empu merasa kesakitan.
"Coba bilang lagi sama gue kalo gue bunuh bokab Lo!" Kania gemetar ketakutan. Di sini hanya ada mereka berdua dan kini Harvey menatapnya seolah benar-benar ingin membunuhnya.
"AYO BILANG, BITCH!!! BUKA MULUT LO ITU!! Mana keberanian Lo tadi? MANA, HUH?!"
Kania menitihkan air matanya. Gadis itu sangat ketakutan melihat Harvey saat ini. Ia ingin pergi sesegera mungkin dari tatapan tajam itu.
"Lo tanya sama kakak Lo si Brengsek itu. Siapa yang bikin kakak gue depresi dan akhirnya milih buat akhirin hidupnya!" Kania membulatkan matanya. Kebenaran apa yang ia dengar ini. Bagaimana mungkin kakaknya melakukan hal itu. Rasanya tidak mungkin.
"Harvey, itu nggak mungkin.."
"LO MAU BELAIN SI BANGSAT ITU BUKAN URUSAN GUE!! TERSERAH LO MAU NGOMONG APA ITU NGGAK PENTING BUAT GUE, FAKTANYA SI BRENGSEK ITU PEMBUNUH KAKAK GUE..."
"...Kalo gue mau gue udah lenyapin Lo dan keluarga Lo saat ini juga! Dari pada di dunia cuma jadi beban buat orang lain lebih baik lenyap kan?" Harvey tersenyum miring lalu pergi dari tempat itu meninggalkan Kania yang masih terdiam di tempatnya.
Harvey selalu mencoba menahan dirinya selama ini untuk tidak melenyapkan Rayyan karena rasa bersalahnya yang mungkin kini telah hilang pada gadis bodoh itu. Rasa bersalah yang membuatnya kini harus kehilangan Mika dihidupnya.
Sekarang ia akan membuang semua sampah yang akan menghambat jalannya. Termasuk gadis bodoh itu.
***
Kania terduduk lemas di sebuah danau dekat kampusnya. Dia memikirkan hal yang kini mengusiknya. Fakta apa yang telah ia dengar saat ini? Kakaknya tidak mungkin melakukan hal itu.
Yang kakaknya katakan dulu hanyalah Harvey tidak terima saat kakak perempuan pemuda itu diacuhkan oleh kakaknya, Rayyan.
Jika ini memang kebenarannya. Apakah ini alasan Harvey mempermainkannya dan membenci keluarganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE : I'm Sorry
أدب الهواةFIKSI 100% "Gimana cara gue bisa bahagia kalo Lo nggak ada disamping gue Kak?" (Harvey Dewangga) "Lo harus janji Lo nggak akan pernah lakuin hal yang bisa ngerugiin diri Lo sendiri, ayo janji!" (Rachel Tan) "Udah suka sama gue belum?" (Mikayla) - - ...