•
•
•"Tidak."
"Oh, ayolah, kawan. Nikmatilah malam ini sekali-kali," ucap seorang pria yang santai menduduki sofa di ruang kerja, berhadapan dengan pria yang menduduki kursi kepemimpinan.
"Tidak," jawabnya tanpa tergoyahkan. Fokusnya tertuju pada data-data perusahaan yang dipegangnya, mengabaikan rayuan temannya yang berusaha mempengaruhinya.
"Ayolah, setidaknya lupakan sejenak urusan bisnismu. Siapa tahu kamu menemukan hiburan yang menarik di sana," godanya tak berhenti, mendekati pria yang sedang duduk di kursi berlapis kulit.
"Keluar, Jarel," Desisnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan data perusahaan di meja. Suara ruangan kerja nya penuh dengan suasana yang hening, hanya terganggu oleh usaha keras seorang pria yang berbicara dengannya.
Jarel Grason, pria yang dengan gigih berusaha meyakinkan pria yang tetap bermuram durja pada berkas-berkasnya. Jarel adalah seorang mafia juga, sahabat akrab dari mafia paling kejam dan terkenal nomor satu di dunia, yang tak lain adalah pria di hadapannya ini.
"Baiklah, baiklah. Kau memang sangat membosankan," balas Jarel sambil dengan santainya duduk di atas meja pria itu.
"Tapi jika kamu berubah pikiran, kamu bisa menghubungiku. Aku akan memberimu informasi tempatnya," lanjut Jarel, kemudian ia beranjak dari meja dan berjalan menuju pintu. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh lagi ke arah pria itu.
"Kau takkan menyesal mengikuti malam ini, percayalah," ucapnya dengan meyakinkan, lalu bergegas keluar tanpa menunggu tanggapan, karena pria tersebut memang jarang bicara.
Setelah Jarel pergi, pria itu meletakkan berkas dengan hentakan ringan dan bersandar di kursi. Tangannya ia lipat di belakang kepalanya, matanya terpejam untuk mencari ketenangan.
Tiba-tiba, ia mengusap pelipisnya, merasakan kepala pening akibat terus mendengarkan rayuan temannya yang tak ada habisnya. Rasanya seperti berada dalam arus kata-kata yang mengelilingi, menyerang tanpa ampun. temannya itu selalu ingin melibatkannya dalam sesuatu yang tidak menarik bagi nya.
Dengan tarikan nafas dalam, ia mencoba menenangkan diri. Namun, ketukan lembut pada pintu menghentikan usahanya. Pria itu tersadar dan merapikan duduknya.
"Masuk." ucapnya seraya melirik kembali ke berkas-berkas yang tersebar di meja.
Alex Embrata, seseorang yang diketahui sebagai tangan kanan pria tersebut memasuki ruangan, memberikan sedikit salam hormat sebelum berbicara.
"Tuan, sesaat lagi Anda akan menghadiri rapat," kata pria tersebut dengan penuh kesopanan.
"Pastikan semuanya siap."
"Baik, tuan."
Deru mobil memenuhi perkarangan Mansion yang megah, segera menarik perhatian para pelayan dan pengawal yang berkumpul dalam sekejap. Mereka merapat, berbaris rapi, menanti sosok yang akan keluar dengan perasaan gugup.
Dari pintu mobil, seorang pria melangkah keluar. Dengan wibawa yang memancar, pandangannya mampu membekukan para bawahannya, membuat mereka merasa mati kutu dan penuh ketakutan.
"Selamat sore, tuan,"
sapa para bawahannya dengan kompak begitu ia menjejakkan kaki di tanah. Mereka menunduk dengan hormat, tak berani mengangkat kepala untuk menatapnya. Peraturan tak tertulis telah mengikat mereka, mengharuskan untuk tidak menatap wajah tuannya. Terkecuali Alex, tangan kanan pria itu sendiri.
Pria itu mulai bergerak melewati mereka dengan langkah perlahan. Derap kakinya menggema di keheningan, memenuhi kekosongan dengan dentingan yang tajam. Keheningan menggantung di udara, tak seorang pun berani mengucapkan sepatah kata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruthless Dominion
RandomDentuman musik bergema, memenuhi ruangan dengan keharmonisan yang begitu nyaring, disertai sorakan riuh penonton yang memperheboh suasana. Namun, pria yang kejam namanya menjadi terhormat ini hanya duduk santai, mata terfokus pada seorang pria berwa...