•
~ Happy Reading ~
Di markas milik Baron, suasana meriah memenuhi ruangan. Anggota Baron merayakan kemenangan mereka dengan penuh semangat. Gelak tawa, tepuk tangan, dan bunyi korki yang membuka botol bir menggema di seluruh markas.
Di tengah kegembiraan itu, Javiel hanya berdiri di sudut ruangan, melihat perayaan tanpa ikut merayakan. Perasaannya terombang-ambing di antara euforia kemenangan dan kekosongan dalam hatinya.
Gavin mendekati Javiel yang hanya berdiri di tepi ruangan, memperhatikan perayaan tersebut dengan tatapan kosong.
"Adik ku! Kau sangat hebat tadi. Sudah lama kita menanti kesempatan ini," sapa Gavin sembari menepuk bahu Javiel.
Javiel hanya menatap Gavin tanpa sepatah kata pun. Beban emosional yang membebani pikirannya membuatnya sulit untuk merasakan kegembiraan seperti yang dirasakan oleh yang lain.
"Sudah saatnya kita merayakan keberhasilan ini! Bagaimana perasaanmu setelah menjatuhkan Damon?" ujar Gavin dengan senyuman licik.
"Tentu saja aku senang, kita sudah menanti ini sangat lama," balas Javiel dengan nada tenang, tetapi ekspresi wajahnya masih memancarkan kekosongan.
Gavin tersenyum tipis, menatap Javiel dengan tatapan yang sulit diartikan, "Kau tahu, Damon telah menjadi ancaman bagi kita selama ini. Kau benar-benar memainkan peranmu dengan baik, membantu kita menyingkirkan masalah besar."
"Aku tidak akan membiarkan orang yang membunuh keluargaku hidup dengan tenang, kak Gavin."
Gavin terkekeh kecil, lalu ia menepuk kepala Javiel pelan. "Adik ku memang terbaik."
"Tapi.." ucap gavin menggantungkan, "Kau tidak sampai jatuh cinta kepadanya, kan?" lanjutnya, tatapannya berubahnya serius saat mengatakan itu.
Javiel terdiam, tak merespon pertanyaan dari Gavin, sepertinya terdapat pergolakan batin yang mendalam di dalam dirinya.
"Aku.."
"Ah kau tidak mungkin mencintai orang yang membunuh kedua orang tua mu juga, itu konyol," sela Gavin sembari terkekeh, memotong ucapan Javiel.
Javiel hanya menatap Gavin tanpa sepatah kata. Ekspresinya sulit diartikan, campuran antara ketidakberdayaan dan hampa.
"Kenapa kau terlihat begitu murung? Inilah yang kita inginkan, bukan?" Rayu Gavin, senyuman licik terlintas di bibirnya.
Namun, Javiel hanya mengangguk tanpa suara. Ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Kemenangan ini seharusnya membawanya kepuasan, tetapi ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya.
"Sepertinya adik ku kelelahan. Kau istirahat di ruangan mu, sudah tak ada lagi ancaman disekitar kita, kau bisa tidur dengan nyenyak, adik."
Javiel mengangguk. "Terima kasih kak, aku akan beristirahat sebentar."
Setelah mengatakan itu, Javiel segera melangkah menjauh dari kerumunan itu tanpa menunggu balasan dari Gavin. Ia sangat lelah sekarang dan ingin sendiri dulu tanpa ada yang mengganggunya. Tetapi saat ia melangkah ke koridor, Hagel tiba-tiba muncul di hadapannya, menahan lengannya.
"Javiel, tunggu sebentar," ucap Hagel dengan nada serius.
Javiel menoleh, mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik ekspresi wajahnya. "Ada apa, Hagel?"
"Bantu aku mengobati luka ku,"
Javiel mengangguk, dan keduanya menuju ke ruangan milik Hagel. Javiel membantu Hagel duduk, kemudian membuka kotak peralatan medis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruthless Dominion
AcakDentuman musik bergema, memenuhi ruangan dengan keharmonisan yang begitu nyaring, disertai sorakan riuh penonton yang memperheboh suasana. Namun, pria yang kejam namanya menjadi terhormat ini hanya duduk santai, mata terfokus pada seorang pria berwa...