•
~ Happy reading ~
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan tragis itu. Javiel masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, dalam keadaan koma. Wajahnya pucat, dan napasnya hanya terdengar melalui alat bantu medis. Seperti dunia di sekitarnya telah berhenti berputar.
Damon selalu ada di sisinya, setiap saat. Ia tidak pernah meninggalkan ruangan itu, selalu menatap Javiel dengan perasaan cemas yang tak kunjung reda.
Wajah Damon sudah tidak lagi menunjukkan ekspresi dingin dan keras seperti biasanya. Ia tampak lelah, khawatir, dan sangat berbeda dari sosok yang seringkali menakutkan. Kejadian tersebut telah mengubahnya, meruntuhkan pertahanan emosional yang selama ini ia pertahankan.
Damon memegang tangan Javiel yang terbaring di tempat tidur. Tatapannya lembut, begitu berbeda dari bagaimana ia biasanya menatap orang.
"Kau tahu, Javiel, aku lebih suka kau menatapku dengan ketakutan, dari pada melihat mu menutup mata seperti ini," bisiknya dengan suara rendah, meskipun ia tahu Javiel tidak dapat mendengarnya.
Tiba-tiba, Damon mendengar suara pintu kamar sakit yang terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Alex memasuki kamar. Alex juga terlihat sangat lelah dan khawatir.
"Tuan, sebaiknya anda beristirahat dulu, biar saya yang akan menjaga tuan Javiel," kata Alex dengan suara lemah. Ia merasa khawatir kepada nya karena Damon terlihat sangat berbeda seperti biasanya. Damon melewatkan tidur, makanpun dengan enggan. Kantung matanya sangat terlihat jelas akibat terus terjaga.
"Alex, kau sudah melakukan apa yang ku perintahkan?" tanya Damon, mengabaikan ucapan Alex yang menyuruhnya untuk istirahat. Alex memahami bahwa kejadian ini juga berdampak pada Damon. Alex tetap menjawab pertanyaan Damon walaupun masih merasa khawatir.
"Semua sudah saya lakukan seperti perintah tuan." jawab Alex "Tapi tuan, kenapa tidak langsung membantai mereka semua saja?"
Alex merasa sangat bingung dengan apa yang direncanakan oleh Damon, ia malah membebaskan orang-orang itu dan bukan menghabisi mereka semua.
Damon beralih menatap Javiel, tatapannya sulit diartikan. Lalu ia mengusap punggung tangan Javiel yang masih ia genggam. "Kau tahu aku dengan jelas, Alex."
Kemudian Damon kembali menatap Alex, tatapannya kembali menajam. "Aku tidak akan membebaskan mereka dengan mudah. Biarlah mereka bersenang-senang terlebih dahulu sebelum merasakan penderitaannya."
Alex menelan ludahnya ketakutan, ia sekarang mengerti apa yang dimaksud oleh tuannya itu.
"Malam ini aku akan kembali ke markas utama, jagalah Javiel selama aku tidak ada" ujar Damon lagi.
"Baik tuan." balas Alex patuh.
"Ternyata ada yang berani menantang Damon," ucap Gerald sambil meminum minumannya dengan tenang. Ia sekarang tengah duduk di ruangan yang biasa ia tempati.
"Ah, aku hanya perlu berdiam diri di sini saja, bukan? Hanya perlu menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya," lanjutnya.
Kemudian Gerald berdiri dan melangkah menuju jendela, ia memandang keluar dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa aku harus menjemput Javiel di rumah sakit itu?" kekehan sinis keluar dari bibir Gerald, sementara rencana jahat mulai tersusun di kepalanya.
Shaka berdiri di luar klub, menatap jauh ke jalanan yang ramai. Angin malam menyapu rambutnya yang tergerai, menciptakan kesan hening dalam kegelapan. Ia tengah menunggu seseorang yang tak kunjung muncul. Suasana malam semakin dingin, namun ia tetap bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruthless Dominion
AcakDentuman musik bergema, memenuhi ruangan dengan keharmonisan yang begitu nyaring, disertai sorakan riuh penonton yang memperheboh suasana. Namun, pria yang kejam namanya menjadi terhormat ini hanya duduk santai, mata terfokus pada seorang pria berwa...