Part 7: Stillness

4.3K 374 59
                                    










Setelah dua minggu berlalu sejak insiden itu, Javiel masih merasakan getaran ketakutan dari kejadian tersebut. Tubuhnya terasa lemah, dan bekas-bekas goresan dari pertarungan dengan hiu masih membekas di kulitnya.

Pelayan yang sama yang membawanya makanan dan memaksa mengenakan pakaian itu sekarang sedang merawat luka-lukanya. Mereka bekerja dalam diam, memahami bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengurangi ketegangan yang dirasakan Javiel.

Javiel hanya diam, mata memandang kosong ke kejauhan. Ia masih terbayang dengan serangan hiu, rasa takut yang hampir mematikan itu. Kejadian itu terus menghantuinya dalam mimpi-mimpi buruknya. Terkadang, dalam tidurnya, ia terbangun dengan keringat dingin dan nafas terengah-engah, mengalami mimpi buruk tentang air yang gelap dan gigi-gigi tajam.

Setelah pelayan selesai melakukan perawatan, ia meninggalkan kamar tanpa berpamitan. Javiel tetap di tempatnya, membiarkan kesendirian menyelimuti dirinya. Terlalu takut untuk keluar dari kamar.

Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian itu, dan Javiel tidak lagi bertemu dengan Damon. Ia merasa tegang dan tidak pasti tentang apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Javiel menoleh dengan kaget, dan matanya bertemu dengan tatapan dingin Damon yang tiba-tiba muncul. Hatinya berdegup kencang, campuran antara kekhawatiran dan kemarahan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, namun ia berusaha menahan diri untuk tetap tenang di hadapan pria yang sangat berkuasa ini.

Javiel merasakan getaran takut menghantamnya. Wajahnya pucat, matanya memancarkan rasa rapuh yang sulit untuk disembunyikan. Ia duduk di ujung tempat tidurnya, mencoba mempertahankan setiap helai keberaniannya meskipun hatinya berdegup begitu kencang.

Damon berjalan masuk dengan langkah tegas dan tatapannya yang tajam segera memfokus pada Javiel, seolah-olah menikmati ketidaknyamanan yang ia bawa dengan kehadirannya. Suasana ruangan menjadi tegang dan hening, hanya terdengar desiran kain yang mengiringi setiap langkahnya.

"Javiel," ucap Damon dengan suara yang tenang namun penuh dengan otoritas. Matanya tidak pernah lepas dari Javiel, menyelusuri setiap raut wajahnya.

Javiel hanya menatap damon, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Suaranya terdengar parau dan lemah di hadapan kehadiran yang begitu mendominasi.

"Mengapa kau terlihat begitu ketakutan, Javiel?" tanya Damon, suaranya seperti badai tenang yang mengguncang hati Javiel. "Apa kau masih terbayang dengan kejadian yang menimpamu?"

Javiel tetap diam, suaranya terdengar rapuh. Ia berusaha mempertahankan diri dari memperlihatkan betapa terkejut dan terintimidasi dirinya pada pria di hadapannya. Tapi rasa takutnya sulit untuk disembunyikan.

Damon mendekati Javiel dengan perlahan, menempatkan dirinya hanya beberapa langkah darinya. Javiel merasakan ketakutannya semakin mendalam. Matanya mulai berkaca-kaca, dan ia merasa begitu ketakutan saat ia berdekatan dengan Damon.

Damon meraih pipi javiel, membuat javiel menutup erat matanya dengan ketakutan. "Tenanglah, sayang, aku tidak akan menyakiti mu" Ucap Damon sambil mengelus pipi javiel lembut tetapi matanya masih menatap javiel dengan tajam.

"Ada apa?" tanya Javiel dengan suara yang bergetar sedikit. Ia berusaha mempertahankan wibawanya, meskipun hatinya berdegup tak teratur. "Mengapa kau datang kemari?"

Damon mengangkat alisnya. "Kau tidak menyukai kehadiran ku?"

Javiel menelan ludahnya dengan berat, mencoba menemukan keberanian untuk berbicara. "A... aku hanya tidak mengharapkan kedatangan mu," ucapnya dengan suara gemetar, mencoba menutupi betapa rapuhnya dirinya saat ini.

Ruthless DominionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang