•
•
•
•
•Ruangan markas itu dipenuhi oleh lima pria yang tegang. Mereka duduk mengelilingi meja bundar, wajah-wajah mereka tercermin oleh cahaya redup lampu. Suasana hening yang tercipta seolah memperkuat ketegangan yang terasa.
"Tidak bisa terus begini. Apa yang terjadi padanya?" Suara tegas seorang pria berumur memotong kesunyian.
Namun, satu di antara mereka, pria berpostur kokoh dengan tatapan tajam, menanggapi dengan penuh keyakinan. "Jangan meremehkan anjing kecilku. Dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Sudah cukup! Apakah kita hanya akan duduk di sini dan menunggu?" Bentakan seorang pria lain memecah keheningan, wajahnya memerah oleh emosi yang memuncak.
"Kita hanya perlu menunggu kabar darinya. Bersabarlah sedikit," balas pria pertama dengan tenang.
Namun, ada yang tak terima. Seorang pria yang tampak lebih marah melompat dari kursinya dan berseru, "Kau selalu membela dia, eh? Apa jalang mu itu begitu istimewa?"
Pria pertama memukul meja dengan keras, tatapannya tajam menusuk. "Apa katamu?"
Seorang pria lain tersenyum sinis, memandang pria pertama dengan sebelah mata. "Ada masalah?"
Debat semakin memanas, kata-kata bergejolak seperti lava gunung berapi. Suara mereka saling bersaing, dan sisa kehadiran di ruangan itu tidak mampu lagi meredakan suasana.
Pria ketiga, akhirnya berdiri dengan keras, mendorong kursinya hingga jatuh dengan keras. "Cukup! Kita tidak akan menyelesaikan apapun dengan berteriak seperti ini!"
Namun, pria kedua, yang tetap bersikeras, tidak bisa lagi menahan emosinya. Dengan langkah mantap, dia mendekati pria pertama dan menunjuknya dengan keras. "Kau menantangku, huh? Kita selesai di sini!"
"TUTUP MULUTMU!" teriak salah satu dari mereka dengan suara yang memenuhi ruangan.
"Mari kita kembali ke topik. Kita harus membahas rencana selanjutnya."
Akhirnya, mereka semua kembali ke tempat semula dalam hening tegang, dan mulai memikirkan langkah selanjutnya.
Javiel berada di kamarnya, suasana sudah larut malam. Rasa ragu menghampirinya saat memikirkan permintaan Damon untuk bergabung dalam makan malam. Meskipun terlihat menarik, ia tetap merasa cemas. Pikirannya terus menerus berputar, mencoba mencari tahu alasan di balik tindakan tiba-tiba Damon yang cukup aneh ini.
Saat ia masih terhanyut dalam pertimbangannya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka perlahan, menampilkan sosok Zayas yang tampak tenang. Javiel menoleh dan terkejut melihat Zayas di sana.
"Sebaiknya kau segera datang ke ruang makan, Javiel," ujar Zayas dengan hormat.
Javiel menelan ludah, masih merasa ragu. "Apa dia sudah di sana?" tanya Javiel kepada Zayas.
"Ya, Tuan Damon sudah menunggu mu," jawab Zayas dengan lembut.
Javiel bisa merasakan aura misterius dalam gerakan Zayas, yang semakin memperumit perasaannya.
Setelah beberapa saat ragu, Javiel akhirnya mengambil keputusan untuk mengikuti Zayas. Ia berjalan di belakang pelayan tersebut dengan hati-hati, perlahan namun pasti. Setiap langkah terasa berat, seperti memasuki wilayah tak dikenal. Ketika mereka mendekati ruang makan, Javiel bisa merasakan jantungnya berdebar keras, mencoba untuk tenang namun tidak sepenuhnya berhasil.
Saat Javiel tiba di ruang makan, ia mendapati Damon sudah duduk menunggu di meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Aroma menggugah selera memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang kontras dengan kegelapan di luar. Keheranan meliputi pikiran Javiel, ia tidak dapat memahami alasan di balik semua ini. Makanan, suasana, semuanya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, dan ketakutan semakin merayap di dalam dirinya. Apa sebenarnya yang akan terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruthless Dominion
De TodoDentuman musik bergema, memenuhi ruangan dengan keharmonisan yang begitu nyaring, disertai sorakan riuh penonton yang memperheboh suasana. Namun, pria yang kejam namanya menjadi terhormat ini hanya duduk santai, mata terfokus pada seorang pria berwa...