break the rules
•
Riana suka menambahkan satai telur puyuh dan ekstra kerupuk ke dalam mangkuk bubur ayamnya, mencampur segalanya menjadi satu. Lalu, diberi tambahan kecap dan sedikit sambal sebagai pelengkap.
Jiwa tersenyum, mengamati Riana yang sedang menyantap sarapannya tanpa suara. Sesekali perempuan itu menatap ke arah lapangan badminton yang sepi.
“Biasanya kalau weekend banyak yang main badminton,” gumam Riana. Tak bermaksud mengajak Jiwa bicara. “Where’s Brown? Biasanya suka jalan-jalan di sini.”
She’s mumbling. Hanya bicara kepada dirinya sendiri.
“Who’s Brown?” tanya Jiwa.
“Kucing yang biasa main sama kamu,” jawab Riana tanpa menatap secara langsung ke arah lawan bicaranya.
“Namanya Brown? Siapa yang ngasih nama?”
“Dia sering berkeliaran di sekitar gedungku, makanya aku kasih nama Brown. Biar gampang kalau dipanggil.”
“Kenapa nggak dipelihara aja?”
“Beli stok makanan buat diri sendiri aja kadang lupa, gimana ceritanya mau ngerawat kucing? Yang ada malah sering lupa ngasih makan.”
Jiwa tertawa, kemudian mulai menyuapkan bubur ayam ke dalam mulut Gemi. Gadis kecil itu masih memberikan tatapan kesal pada Riana, bahkan kedua tangannya dilipat di depan dada. Kesal sekali dengan sosok tante yang tiba-tiba muncul, merebut semua perhatian Jiwa.
“Don’t look at me like that,” kata Riana saat menyadari tatapan Gemi. “Kenapa? Aku cantik banget, ya? Sampai ngelihatin terus dari tadi.”
“Gemi nggak suka sama Tante,” sahut Gemi, lalu memanyunkan bibirnya.
“Aku juga nggak suka kamu.”
“Ih, kok gitu?”
Riana terkekeh pelan, kemudian mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Gemi dengan gemas. Riana memang tidak menyukai anak-anak, tapi ia suka sekali mengganggu bocah sampai kesal dan uring-uringan. Lucu sekali melihat ekspresi marah mereka.
“Kamu emang suka berantem sama bocah enam tahun?” tanya Jiwa.
“I’ve never interacted with kids, nggak punya saudara sepupu atau keponakan yang masih kecil. Makanya nggak tahu gimana caranya main sama anak-anak,” jelas Riana.
“Anak tunggal?”
“Mm-hmm…”
Satu lagi fakta baru yang Jiwa ketahui. Selangkah lebih dekat untuk mengenal bagaimana Riana Sekar Natadirja yang sebenarnya.
Riana menghabiskan sisa bubur ayam di dalam mangkuknya, kemudian mengakhirinya dengan segelas teh hangat yang tidak terlalu manis. Perutnya kenyang, sampai benar-benar terasa penuh. Maklum, perempuan itu biasanya hanya sarapan dengan setangkup roti atau semangkuk sereal cokelat.
“Gemi mau main di lapangan sebentar ya, Mas. Di sana ada banyak capung,” kata Gemi sambil menunjuk ke arah lapangan badminton.
“Sure. Mas tunggu di sini ya, Princess. Mainnya jangan jauh-jauh,” sahut Jiwa.
Gemi mengacungkan jempolnya, kemudian berlari menuju lapangan badminton untuk mengejar capung yang berterbangan di dekat tumbuhan berbunga.
Riana diam-diam tersenyum, dalam hati merasa iri karena Gemi memiliki kakak laki-laki yang sangat penyayang. Bahkan memanggilnya dengan sebutan princess.
“Mada harusnya hari ini ke studioku, nganterin oleh-oleh,” gumam Jiwa, lalu menatap Riana yang masih duduk di sampingnya. “Tapi, kayaknya nggak jadi.”
Senyum di bibir Riana seketika lenyap. “Mada tahu kalau kamu sewa gedungku?”
“He knows.”
“Dia bilang apa waktu kamu cerita soal gedungku?”
Ucapan Mada kembali terngiang di kepala Jiwa. Laki-laki itu masih mengingat tiap kata yang diucapkan oleh sang kakak.
“Mada minta kamu buat pindah?” tebak Riana saat tak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicaranya.
Tebakan yang sangat tepat. Tapi, Jiwa memilih untuk diam, enggan menjelaskan apa saja yang Mada katakan tadi malam.
“He’s right,” kata Riana, kemudian tertawa hambar. “Nggak ada gunanya terus-terusan tinggal di gedungku. Ada banyak gedung lain yang lebih bagus, bisa jadi workspace yang lebih nyaman.”
“No. Males kalau harus angkut barang lagi. I love your building, lumayan nyaman dan tenang. Plus, ada Brown yang sering main,” jawab Jiwa.
“Harusnya kita nggak ketemu, Jiw.”
“Kamu yang ngajak ciuman duluan.”
Shit. Riana buru-buru membekap mulut Jiwa, sebab kondisi warung bubur ayam cukup ramai didatangi pengunjung. Memalukan sekali tiba-tiba membahas ciuman di tempat umum, apalagi ada banyak anak-anak di sekeliling mereka.
“Shut up. Jangan bahas soal ciuman,” bisik Riana di dekat telinga Jiwa.
Jiwa terkekeh pelan, lalu menyingkirkan tangan Riana dari mulutnya.
“Mumpung kita bahas topik ciuman, aku mau tanya satu hal sama kamu,” kata Jiwa, merendahkan suaranya agar orang-orang di sekeliling tak mendengar pembicaraan mereka.
Riana menghela napas, “tanya apa lagi?”
“Malam itu kenapa tiba-tiba ngajak ciuman?”
“Sorry, it was my fault. Anggap aja lagi nggak waras gara-gara ditinggal nikah.”
“You love my brother so much, huh?”
“Nggak gitu.”
Lalu, apa alasannya?
Jiwa benar-benar penasaran, ingin bertanya lebih jauh. Tapi, di sisi lain, ia tak ingin mengorek terlalu dalam. Khawatir kalau rasa penasarannya justru membuat Riana risih dan kesal.
“Jangan bahas Mada lagi. Dia udah nikah. Aku kesannya kayak pelakor kalau terus-terusan bahas soal dia,” kata Riana sambil merapikan ikatan rambutnya.
“Sini,” ucap Jiwa sembari mengambil sebuah ikat rambut dari genggaman Riana.
Riana tertegun ketika Jiwa tiba-tiba menyentuh helaian-helaian rambutnya. Jemari laki-laki itu perlahan bergerak, menelusuri rambut panjang Riana agar lebih rapi ketika diikat.
“Mau diikat biasa atau dikepang?” tanya Jiwa.
Riana tenggelam di dalam lamunannya, menyadari bahwa sesungguhnya ia sangat merindukan afeksi dari seseorang. Pada akhirnya, perempuan yang sagat mandiri itu juga ingin diperhatikan dan disayangi. Membutuhkan usapan-usapan lembut yang menenangkan, serta pelukan hangat untuk mengisi kembali energinya.
“Hm? Kenapa nggak dijawab?” tanya Jiwa sekali lagi.
Lamuan Riana seketika buyar. Ia menoleh ke belakang, bertemu tatap dengan Jiwa yang masih menunggu jawaban dengan sabar.
“Kamu bisa ngepang rambut?” sahut Riana.
Jiwa tertawa, lalu berkata, “aku suka ngepang rambutnya Gemi.”
Riana hanya tersenyum.
Maka, Jiwa menganggapnya sebagai jawaban. Tangan Jiwa bergerak dengan cekatan, mengepang rambut panjang Riana yang beraroma lavender.***
Riana duduk di dekat jendela, tangan kirinya memegang sebuah buku, sedangkan tangan kanannya menyentuh kepangan rambutnya sendiri. Sejak meninggalkan warung bubur ayam, Riana tetap membiarkan rambutnya tetap dalam kepangan. Walaupun besok pagi ia harus mengerahkan tenaga ekstra untuk styling rambut agar efek bergelombangnya hilang.
Jendela dibiarkan terbuka. Agar embusan angin masuk ke dalam kamar.
Ah, mungkin angin hanyalah sebuah alibi. Tujuan sebenarnya adalah ingin mendengarkan suara celotehan Jiwa dan Gemi dari arah bawah.
Sampai detik ini, suara celotehan dan tawa yang renyah itu masih terdengar. Entah apa yang sedang dilakukan oleh Jiwa dan Gemi di bawah sana. Yang jelas, Riana tak lagi terganggu dengan suara anak-anak yang biasanya selalu memancing emosinya.
Sebaliknya, Riana justru tersenyum. Sesekali memejamkan matanya saat mendengar Jiwa tertawa.
Riana menopang dagu, lalu mengalihkan pandangannya dari buku. Ia mengintip ke luar jendela, menjumpai Jiwa dan Gemi yang sedang bermain dengan Brown di dekat pot-pot mawar.
“Kucingnya dikasih nama Milo aja, Mas,” kata Gemi sembari berjongkok, mengusap tubuh Brown dengan lembut.
“Namanya Brown,” balas Jiwa sambil ikut berjongkok di samping Gemi.
“Ih, Mas Jiwa jangan ikutan pegang kucing! Nanti hidungnya meler, loh!”
“It’s okay. Nanti bisa minum obat.”
Riana tertawa kecil, sayup-sayup masih mendengar suara obrolan Jiwa dan Gemi. Walaupun sangat samar, hingga nyaris tak terdengar.
“Dia alergi kucing? Pantesan nggak pernah biarin Brown masuk ke studionya, cuma bisa main di depan,” gumam Riana.
Riana bersandar pada jendela, masih mengamati Jiwa yang sedang memberi makan Brown dengan dry food. Tampaknya laki-laki itu memiliki stok makanan kucing di dalam studionya.
“Cute,” ucap Riana, lalu menutup kembali jendela kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.