can't let you go

578 107 11
                                    

break the rules


“Kamu mau cuti, Ri?” tanya Antoni ketika melihat selembar kertas yang baru saja keluar dari printer.
 
“Iya, cuti empat hari. Aku mau liburan ke Bali,” jawab Riana.
 
Sebuah kabar yang agak mengejutkan. Riana yang terkenal workaholic tiba-tiba mengajukan cuti selama empat hari hanya untuk liburan ke Bali?
 
“Lagi ada masalah, ya?” tebak Antoni.
 
Riana tertawa kecil, “burnout. Butuh jeda buat healing.”
 
Bohong.
 
Selama bekerja, Riana tak kenal kata burnout. Perempuan itu sangat mencintai pekerjaannya, setiap harinya dijalani dengan penuh suka cita dan rasa antusias. Tapi, memang benar kalau tujuannya pergi ke Bali adalah untuk healing.
 
Riana merasa perlu memahami dirinya sendiri, agar bisa hidup berdampingan dengan luka dan terus melangkah maju tanpa terus memikirkan masa lalu. Riana harus tahu apa yang benar-benar hatinya inginkan, bagaimana cara menjalani hidup agar tiap pencapaian kecil yang diraih terasa lebih membahagiakan.
 
“Aku ke ruangan Pak Amir dulu,” ucap Riana, lalu melenggang meninggalkan ruangan divisi.
 
Stiletto berwarna merah yang terpasang di kedua kakinya menimbulkan suara lantang saat beradu dengan lantai. Berjalan menuju ruang sang atasan untuk menyampaikan rencana cuti.
 
Langkah Riana terhenti di depan pintu, tangannya terangkat untuk mengetuk.
 
“Masuk.”
 
Setelah dipersilakan masuk, barulah Riana membuka pintu. Masuk ke dalam ruang kerja yang tidak luas itu, berdiri persis di depan meja kerja ketua divisi.
 
“Ada apa, Riana?” tanya Pak Amir.
 
“Saya ingin mengajukan rencana cuti, Pak,” jawab Riana sambil menunjukkan form yang nantinya akan diserahkan ke ruangan HRD.
 
Pak Amir menerima secarik kertas itu, membacanya dengan saksama, termasuk memeriksa alasan yang tertera di atas sana.
 
“Empat hari?” gumam Pak Amir.
 
“Iya, Pak,” sahut Riana.
 
Pak Amir tentu tidak memiliki hak untuk mencegah, terlebih selama ini Riana jarang memanfaatkan jatah cutinya. Terlalu giat bekerja, setiap kunjungan ke luar kota juga dijalani tanpa kenal lelah.
 
Pak Amir mengembalikan form kepada Riana, lalu berkata, “oke, jangan lupa selesaikan monthly report sebelum cuti.”
 
Riana tersenyum, lalu membungkukkan tubuhnya dengan sopan. Cukup lega karena niatnya untuk cuti tidak dicegah, setelah ini hanya perlu ke ruang HRD untuk menyerahkan form. Kalau rencana cutinya sudah disetujui, tiket pesawat bisa segera dipesan.
  

***

Sepulang kerja Riana pergi ke bar bersama Giska, Windy, dan Bita. Mereka berempat menempati sebuah table yang ada di sudut ruangan, memesan cocktail dan whisky.
 
Biasanya Riana tidak menyukai minuman yang mengandung alkohol, tapi malam ini adalah pengecualian. Ia ingin minum, berharap semua masalah yang berjejal di kepalanya bisa menghilang walaupun hanya sebentar.
 
“Kamu liburan ke Bali sendirian?” tanya Windy sambil mengangkat segelas martini.
 
“Sama Mama,” jawab Riana, tangan kanannya menggoyang gelas berisi whisky. “Udah lama nggak liburan berdua.”
 
Riana meneguk minumannya, lalu memejamkan mata selama beberapa saat. Tiba-tiba bayangan Jiwa kembali hadir di dalam kepala, serupa cuplikan film yang terputar secara otomatis.
 
“Akhir-akhir ini kamu kelihatan kacau, Ri,” kata Bita, agak miris melihat sahabatnya.
 
Really?” sahut Riana, lalu tertawa hambar.
 
“Pasti gara-gara Jiwa, kan?”
 
“Lucu, ya? Aku yang nyakitin dia, tapi aku juga yang kacau begini.”
 
“Kalian nggak pernah ketemu lagi sejak Jiwa pindah?”
 
Riana menggeleng, tersenyum miris.
 
Sudah hampir dua bulan Riana menjalani hidup tanpa kehadiran Jiwa. Waktu dua bulan biasanya cukup untuk move on, anehnya sampai detik ini Riana masih stuck di posisi yang sama. Rindu yang amat menyiksa, tak dapat dikendalikan.
 
Stop,” kata Giska saat melihat Riana akan menenggak whisky lagi. “Udah minum berapa gelas coba? Kamu mulai tipsy.”
 
“Jawab jujur, Gis,” kata Riana sambil menyentuh bahu Giska. “Aku jahat, kan? Pernah nyakitin Mada, habis itu malah main-main sama adiknya.”
 
“Iya, jahat. Tapi, bukan sepenuhnya salah kamu, dari awal Jiwa sendiri yang dengan senang hati mau jadi partner sex kamu.”
 
Excuse me? Partner sex?”
 
Giska meresponnya dengan tawa, tahu persis kalau sahabatnya itu mulai mabuk dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya tidak bisa dianggap serius. Pada dasarnya, Riana hanya memanfaatkan alkohol agar bisa mengeluarkan berbagai emosi yang selama beberapa minggu belakangan tertahan di dalam dadanya hingga terasa sesak.
 
“Aku juga nggak mau hidup begini. Tapi, mau gimana lagi? Setiap kali aku nyoba buat serius sama seseorang, ada rasa takut yang tiba-tiba datang. Takut disakiti, takut dikhianati, takut kalau laki-laki yang udah terlanjur dipilih sebagai teman hidup itu ternyata brengsek dan nggak bermoral,” gumam Riana sambil mengangkat gelasnya.
 
“Rasa takut itu munculnya dari luka yang dari dulu nggak sembuh. Itu sumber masalahnya, harus diatasi biar kamu bisa melangkah maju tanpa bayang-bayang rasa sakit dari masa lalu,” sahut Giska.
 
“Selama ini aku baik-baik aja setiap habis putus. Sakitnya cuma beberapa hari, habis itu aku bisa menjalani hidup kayak biasa. Kenapa sekarang jadi begini? Padahal aku sama Jiwa nggak pacaran, cuma hubungan tanpa status.”
 
“Jawabannya udah jelas, kan? You love him, nggak perlu denial lagi.”
 
Riana tenggelam di dalam lamunannya, lalu menyentuh dadanya sendiri. Mungkin alkohol mulai mempengaruhi tubuhnya, sehingga isi kepalanya kian kacau. Kata cinta terus berputar-putar seperti gasing yang tak dapat dihentikan.
 
Riana memijit pelipisnya, kemudian membuka ponsel untuk memesan taksi.
 
“Aku harus pulang sekarang, kepalaku sakit,” gumam Riana sambil mengangkat tasnya.
 
“Pulang bareng aja. Aku kan bawa mobil,” jawab Bita sebagai satu-satunya yang tidak menyentuh alkohol.
 
Riana menggeleng, menunjukkan layar ponselnya. Taksi sudah kelewat dipesan, tak enak kalau tiba-tiba dicancel.
 
Riana bangkit dari duduknya, berjalan meninggalkan bar dengan langkah gontai. Ingin cepat-cepat sampai di dalam kamar, mengistirahatkan tubuhnya di atas ranjang. Masih ada hari esok yang harus dijalani.
 
Begitu taksi datang, Riana langsung masuk. Duduk di jok belakang, memakai seat beltnya.
 
Taksi melaju di jalan raya yang masih padat, seolah tak ada matinya. Riana memandang ke arah luar, mengamati kendaraan yang melintas. Lampu-lampu yang menyala membuat kepalanya kian pening.
 
Tenggelam di dalam lamunan, kembali memikirkan Jiwa.
 
Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ada setitik rasa rindu di dalam hatinya? Atau jangan-jangan sudah menemukan perempuan baru yang akan dijadikan teman hidup? Apa yang harus Riana lakukan seandainya undangan pernikahan tiba-tiba datang?
 
Riana memejamkan mata, mendengarkan suara bising kendaraan dan klakson yang saling bersahutan.
 
Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, taksi sampai di tempat tujuan. Riana menyerahkan sejumlah uang untuk membayar, kemudian keluar. Pandangannya agak berkunang-kunang, hingga tanpa sengaja menjatuhkan tasnya.
 
“Oh,” gumam Riana, kemudian membungkukkan tubuhnya untuk memungut tas yang terjatuh di atas aspal.
 
Riana tak menyadari kehadiran Jiwa di depan gedung.
 
Jiwa mampir sebentar setelah acara makan-makan dengan co-workers, sekadar mencaritahu apakah sudah ada penyewa baru. Tak menduga akan berjumpa secara langsung dengan Riana yang baru saja pulang dalam keadaan mabuk.
 
Riana menegakkan tubuhnya, mengerjapkan mata kala melihat laki-laki yang cukup familiar.
 
“Jiwa?” gumam Riana, kemudian mengucek matanya.
 
Kepalanya pusing, hingga sulit menjaga keseimbangan. Saat Riana hampir terjatuh, Jiwa dengan sigap menangkapnya.
 
“Ini beneran Jiwa? Atau cuma bayangan?” ucap Riana.
 
Jiwa tak menjawab, hanya menyangga tubuh Riana agar tidak terjatuh ke depan.
 
“Lepas,” kata Riana, menyingkirkan tangan Jiwa yang melingkar di tubuhnya. “Aku bisa jalan sendiri.”
 
Riana berjalan menuju tangga, tapi tersandung kerikil kecil. Sekali lagi Jiwa berhasil menangkapnya.
 
Be careful,” kata Jiwa.
 
Riana mencengkram tangan Jiwa, kemudian duduk di ujung tangga. Berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan segenap kesadarannya.
 
“Ini beneran kamu?” ucap Riana sambil menatap Jiwa lekat-lekat.
 
Jiwa mengembuskan napas, kemudian berlutut di depan Riana. “Kenapa minum sampai mabuk begini? Bahkan pulangnya sendirian.”
 
Riana tersenyum, lalu menyentuh bahu Jiwa. Pelan-pelan mendekat, menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh laki-laki di depannya itu.
 
“Baunya Jiwa,” kata Riana, lalu terkekeh.
 
“Ayo bangun. Aku bantu naik ke atas,” sahut Riana.
 
“Aku masih mau duduk di sini.”
 
“Kamu mabuk.”
 
Riana menunduk, mengusap wajahnya dengan kasar.
 
I miss you,” ucapnya, serupa bisikan lirih. “Ternyata rasanya kosong kalau nggak ada kamu. Aku jahat ya, Jiwa? Udah nyakitin kamu, terus tiba-tiba muncul dan bilang kangen.”
 
Jiwa terpaku, tenggorokannya seolah tercekat hingga tak ada sepatah kata yang mampu terucap.
 
Beberapa detik kemudian, Riana mulai terisak. Tanpa ragu sedikit pun, Jiwa langsung menarik tubuh Riana ke dalam pelukan hangatnya.

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang