his existence

899 174 11
                                    

break the rules


“Beb!”
 
Sial.
 
Riana sengaja datang ke kafetaria pukul setengah satu siang karena ingin menghindari Giska, karena pasti akan diserang dengan berbagai pertanyaan soal laki-laki yang ia bawa ke birthday party yang diadakan oleh Bita.
 
Riana tersenyum tipis, terpaksa menghampiri Giska sambil membawa rice bowl dengan lauk ayam cabai garam dan botol tumbler yang penuh berisi air. Menarik kursi, duduk dengan tenang sambil meletakkan rice bowl dan tumblernya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan ekspresi datarnya.
 
Giska menatap Riana penuh curiga.
 
So, kapan mau klarifikasi?” tanya Giska sambil menopang dagu.
 
“Apanya?” sahut Riana sok polos, kemudian membuka rice bowlnya.
 
“Itu, cowok yang kamu ajak ke birthday partynya Bita.”
 
He’s Jiwa. Aku kan udah cerita.”
 
“Iya, aku juga tahu kalau dia Jiwa. Tapi, apa hubungan kalian? Udah resmi pacaran?”
 
Oh, pertanyaan semacam itu tak akan bisa Riana jawab.
 
Perempuan itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut. Pura-pura fokus dengan makanannya, demi menghindari pertanyaan membingungkan yang dilontarkan oleh Giska.
 
“Jangan bilang, hubungan tanpa status?” tanya Giska ketika melihat Riana diam seribu bahasa.
 
Riana hanya tertawa, lalu berkata. “Apa sih pentingnya status?”
 
Gosh! It’s so important, Beb! Harus ada status yang jelas, biar kalian bisa ngatur batasan.”
 
“Kalau putus, jadi repot. Aku sama Jiwa cuma mau have fun aja, kok.”
 
Giska mengembuskan napas, cukup paham kenapa Riana enggan menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki. Tapi, tetap saja solusinya bukan HTS (Hubungan Tanpa Status) solusinya.
 
“Lagipula, Jiwa itu adiknya Mada. Aku nggak mungkin pacaran sama dia,” kata Riana sembari menjepit rambutnya dengan jedai.
 
Exactly. Dari awal kamu udah tahu kalau Jiwa itu adiknya Mas Mada, kenapa masih nekat mau deket sama dia?” sahut Giska.
 
Tentu saja Riana tak bisa bercerita dengan gamblang kalau dirinya pernah tidur dengan Jiwa di sebuah kamar hotel. Sama saja dengan membongkar kebodohannya sendiri.
 
Riana sepenuhnya sadar, bahwa ia sedang memainkan sebuah game yang berbahaya. Cepat atau lambat, Jiwa pasti akan meminta kepastian. Ketika laki-laki itu mulai melewati garis batas, tanpa ragu Riana akan mendorongnya agar menjauh.
 
“Dia selalu di sana,” gumam Riana, sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk seulas senyuman. “Berdiri di depan studionya, main sama Brown walaupun habis itu bersin-bersin, setiap pagi selalu jogging. His existence brings so much comfort. Kamu tahu sendiri kan selama ini nggak ada satu pun orang yang say goodbye setiap kali aku mau ke kantor dan say hello setiap aku pulang. Sejak ada Jiwa, aku ngerasa disambut dan ditunggu. Kadang merasa harus buru-buru pulang begitu kerjaan selesai, soalnya ada seseorang yang nunggu di rumah.”
 
Giska termenung saat mendengarkan tiap kata yang diucapkan oleh Riana dengan penuh kesungguhan. Lalu, sedetik kemudian Giska tersenyum.
 
“Ini pertama kalinya loh, Ri,” ucap Giska.
 
“Hm? Apanya?” sahut Riana.
 
“Kamu nyebut tempat tinggal sebagai rumah.”
 
“Apa?”
 
Tampaknya Riana juga tak menyadari kalau kata rumah meluncur dengan bebas dari mulutnya. Perempuan itu langsung diam, ekspresinya perlahan berubah.
 
“Bahkan kamu nggak seantusias ini waktu pertama kali nyeritain Mas Mada,” kata Giska, lalu tertawa kecil. “You fall in love, Riana. Masih belum sadar, ya?”
 
Riana menunduk, menatap sepasang sandal hiu berwarna merah muda yang membungkus kedua kakinya. Sandal yang selalu Riana pakai ketika kakinya pegal gara-gara high heels.
 
Sial. Ucapan Giska membuat Riana tiba-tiba mempertanyakan perasaannya sendiri.
 
No,” jawab Riana sambil menggelengkan kepala. “Aku cuma butuh afeksi, kebetulan Jiwa yang bisa ngasih hal itu. Kami nyaman setiap kali cerita soal masalah masing-masing, kadang juga sharing soal pengalaman kerja. That’s it. Hubungan kami nggak mengarah ke percintaan.”
 
“Kalau gitu, mau kenalan sama project manager baru di kantorku? Umurnya belum ada tigapuluh, ganteng, dan statusnya masih single,” ucap Giska dengan antusias. 
 
“Nggak tertarik, Gis.”
 
“Kalau nggak ada hubungan percintaan sama Jiwa, harusnya nggak apa-apa coba kenalan sama orang lain.”
 
No, thanks. Kamu aja yang pacarana sama project manager baru itu.”
 
“Hei, I have a boyfriend!”
 
Riana tertawa, kemudian bangkit dari duduknya. Rice bowlnya telah kosong, setelah ini ia harus segera kembali ke ruang divisi. Briefing singkat dengan staf lainnya sebelum berangkat ke kantor konsultan untuk mendiskusikan soal rencana perluasan kebun sawit.
 
“Kalau masih pakai sandal hiu itu, artinya kamu suka banget sama Jiwa!” teriak Giska.
 
Riana buru-buru mencopot sandalnya, kemudian berlari menuju lift. Bisa sinting kalau terlalu lama mendengar kalimat-kalimat aneh yang terucap dari mulut Giska.
 

***
 

Jiwa mengusap hidungnya yang terasa gatal gara-gara terlalu lama bermain dengan Brown. Tadi sempat bersin-bersin, maka dengan berat hati mengeluarkan Brown dari studio. Untungnya, masih ada persediaan obat.
 
Laki-laki itu lantas duduk di depan komputer, kembali berkutat dengan desain kemasan untuk sebuah produk kecantikan. Sesekali melirik ke arah jam meja yang tergeletak di samping tumpukan kertas berisi coretan gambar.
 
Sudah pukul sembilan, tapi Riana belum pulang. Mungkin lembur di kantor karena ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
 
Tetap saja Jiwa cemas. Malam-malam begini ada banyak pencopet atau orang cabul yang berkeliaran di jalan. Bagaimana pun, Riana adalah perempuan.
 
Ketika Jiwa baru saja akan membuka ponselnya untuk menelepon Riana, tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan studio. Jendela memang dibiarkan tak tertutupi tirai, sehingga Jiwa bisa melihat dengan jelas setiap kejadian di jalanan depan.
 
Riana keluar dari mobil, tertawa riang sambil melambaikan tangannya.
 
Thank you so much, Antoni. Sampai repot-repot nganterin pulang segala,” kata Riana sambil menenteng sebuah kantung plastik berisi toast.
 
“Ya ampun, kayak sama siapa aja,” sahut Antoni dari dalam mobil.
 
Riana mundur selangkah. Tersenyum, melambaikan tangannya. Tak berselang lama, mobil yang dikemudikan oleh Antoni melaju pergi.
 
Ah, rupanya pulang bersama laki-laki.
 
Jiwa tak tahu harus bereaksi seperti apa, sebab ini pertama kalinya ia melihat Riana pulang bersama seorang laki-laki. Bahkan saat lembur sampai jam sepuluh sekali pun, biasanya Riana akan pulang menaiki taksi atau ojek online.
 
Selepas Antoni pergi, Riana membalik badannya.
 
“Jiwa!” panggil Riana ketika melihat Jiwa sedang duduk menghadap jendela.
 
Jiwa berdiri, kemudian berjalan meninggalkan studio untuk menghampiri Riana.
 
“Lembur, ya?” tanya Jiwa.
 
“Tadi ada meeting di luar kantor, terus langsung diajak main bowling sama Antoni,” jawab Riana.
 
“Rekan kerja kamu?”
 
Who? Antoni? Iya, dia rekan kerjaku.”
 
Jiwa mengangguk pelan, memutuskan untuk tak bertanya lebih jauh. Lagipula, Jiwa juga tak memiliki hak untuk cemburu.
 
“Aku mampir beli toast buat kamu,” ucap Riana sambil menyerahkan kantung plastik berisi toast kepada Jiwa.
 
Jiwa menerimanya, lalu berkata. “Thank you, Riana.”
 
Riana tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya menuju tangga. Hendak naik ke tempat tinggalnya agar bisa segera mandi, sekujur tubuhnya sudah terasa lengket gara-gara keringat. Rambutnya juga sedikit lepek.
 
“Riana,” panggil Jiwa.
 
Langkah Riana seketika terhenti. Perempuan itu baru saja menaiki dua anak tangga. Akhirnya menoleh ke belakang, menatap ke arah laki-laki yang baru saja memanggil namanya.
 
“Lain kali, misalnya kamu lembur sampai malam, langsung telepon aku aja. Aku bisa jemput kamu di kantor,” ucap Jiwa.
 
Riana termenung, ada desiran hangat yang memenuhi rongga dadanya.
 
“Ya? Kalau bisa, sama aku aja, jangan sama yang lainnya,” sambung Jiwa.
 
Shit.
 
Debar jantung Riana kian tak terkendali, hingga rasanya sulit sekali menemukan kata yang pas untuk menyahuti ucapan Jiwa.
 
Jiwa masih menatap Riana lekat-lekat, dengan sabar menunggu jawabannya. Mungkin kedengarannya agak aneh, tapi seperti itulah caranya mengungkapkan kecemburuan.
 
“Okay,” jawab Riana pada akhirnya.
 
Senyuman merekah di bibir Jiwa. “Thank you, Riana.”
 
Lagi. Kenapa harus mengucapkan kata terima kasih dengan semanis itu?
 
Riana buru-buru melanjutkan langkah, sebelum isi pikirannya kian menggila. Tiba-tiba ucapan Giska tadi siang kembali terngiang.
 
Apakah Riana benar-benar telah jatuh cinta? Tidak mungkin!

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang