little sister

976 163 18
                                    

break the rules

Saat akhir pekan, Riana suka menghabiskan waktunya untuk bermalas-malasan. Ia ingin bangun lebih siang, bergulung di dalam selimutnya yang nyaman. Hingga menyerupai kepompong yang akan segera berubah menjadi kupu-kupu.

Kamar sunyi. Yang terdengar hanya suara jarum jam, detik demi detik.

Kedua mata Riana terpejam rapat, tangan kanannya terkulai ke bawah, sebagian wajahnya tertutupi helaian-helaian rambut. Sialnya, di tengah waktu tidur yang berkualitas itu, tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak dari arah luar.

Riana sontak terjaga, mengerjapkan kedua matanya yang terasa berat luar biasa. Kini telinganya menangkap suara tawa riang dari arah bawah. Entah tetangga gila macam apa yang sudah berisik sejak pagi hari seperti ini.

"Anak siapa yang pagi-pagi kayak gini udah teriak?" gumam Riana, kakinya menendang selimut dengan kesal.

Ia beranjak, turun dari ranjang dengan mata yang sebenarnya masih ingin terpejam. Mendekat ke arah jendela, membukanya secara perlahan untuk mencari sumber keributan. Agar Riana bisa berteriak, sekadar mengingatkan siapa pun yang ada di bawah untuk tidak berteriak atau menjerit karena mengganggu pendengaran.

Yang Riana jumpai justru Jiwa, sedang bersama gadis kecil berambut panjang.

"Wait–dia udah punya anak?" gumam Riana sambil menyipitkan mata, memastikan apa yang ia lihat benar-benar nyata. "Oh my God. Did I sleep with a married man?"

Riana mengembuskan napas, menyadari betapa bodoh tindakannya yang bisa saja mendatangkan banyak masalah. Ia seperti perempuan sinting yang nekat tidur bersama laki-laki asing yang ternyata sudah beristri.

"Tapi, dia adiknya Mada. Nggak masuk akal kalau udah punya anak sebesar itu," sambung Riana, mencoba untuk berpikir positif.

Detik berikutnya, Riana mendengar suara tawa Jiwa. Begitu renyah. Laki-laki itu menurunkan si gadis kecil dari gendongannya, kemudian mengusap kepalanya dengan penuh sayang.

Riana tenggelam di dalam lamunannya, mendadak lupa dengan rasa kesalnya. Alih-alih kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya, Riana justru tetap bertahan di dekat jendela. Mengamati interaksi manis antara Jiwa dan Gemi.

Jujur, Riana bukanlah penyuka anak-anak. Perempuan itu sangat canggung saat berada di sekitar anak-anak, bahkan kadang terkesan memasang wajah galak. Kepalanya bisa mendidih saat ada anak yang tantrum di sekitarnya.

Tapi, entah bagaimana Riana tersenyum saat melihat Jiwa berinteraksi dengan seorang gadis kecil. "Oh, he's a good daddy. Bisa semanis itu sama anak perempuannya."

Tak berselang lama, Jiwa mendongak. Menyadari Riana yang sedang mengintip dari balik jendela. Laki-laki itu melambaikan tangannya.

"Shit," gumam Riana, lalu kembali menutup jendelanya rapat-rapat.

Memalukan sekali, tertangkap basah sedang mengintip.

Riana menghela napas, kemudian berjalan meninggalkan kamar sambil mengikat rambutnya dengan sebuah karet. Ia pegi ke dapur, hendak mencari bahan makanan yang bisa disantap untuk sarapan.

Sayangnya, tak ada apa-apa. Satu kaleng sarden telah kosong, mendarat dengan mulus di dalam tempat sampah. Sebungkus roti juga telah habis, hanya menyisakan remahan di dasar plastik. Kulkas dalam keadaan kosong, tak ada sisa sayuran atau buah-buahan.

Break the RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang