break the rules
•
Efisiensi energi menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan, khususnya di antara para environmentalist. Industri ditekan agar melakukan efisiensi energi, serta mulai beralih menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Tujuannya adalah untuk mengurangi laju emisi.
Riana duduk di depan meja kerjanya, serius mengamati laporan emisi.
“An, laporan dari lapangan udah masuk?” tanya Riana.
“Barusan masuk, Ri. Langsung cek email,” jawab Antoni.
Riana mengangguk, lalu bergegas membuka email. Memeriksa laporan analisis simpanan karbon di wilayah perkebunan. Mencermati dengan saksama setiap angka yang ditulis dalam laporan, serta membuat catatan-catatan kecil dalam file terpisah.
“Divisi Public Relation and CSR ada project restorasi lahan gambut?” tanya Riana.
“Baru proses diskusi awal sama pemerintah daerah dan LSM. Tapi, belum ada keputusan resminya,” jawab Antoni yang kini berdiri di depan printer. “Kalau ikut project restorasi, biaya yang dikeluarin nggak sedikit. Belum tentu disetujui Divisi Keuangan.”
“Tapi, kondisi lahan gambut di dekat perkebunan udah parah. Kalau suhu permukaan lagi tinggi-tingginya, pasti gampang kebakar. Efeknya bisa sampai ke perkebunan.”
“Ada berapa ratus hektar hutan gambut yang tersisa?”
“Sekitar lima ratus hektar, tapi cuma seratus hektar yang kerapatannya tinggi.”
“Tahun depan rencananya ada perluasan, kan? Berarti ada pembukaan lahan.”
Riana menghela napas, lalu menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Harus segera mengerjakan laporan penilaian simpanan karbon dan emisi. Data-data survei dari lapangan sudah diterima, demikian pula dengan data perhitungan estimasi karbon dari pihak konsultan.
“Next week laporannya harus selesai, An,” kata Riana.
“Kapan ada jadwal rapat divisi?” tanya Antoni.
“Lusa, nunggu Pak Amir selesai kunjungan.”
“Our division needs more people. Kacau banget cuma ada kita berdua di sini, Pak Amir juga lebih sering di luar.”
“Exactly. HRD kayaknya udah mulai open recruitment sih, mungkin baru mulai tahap seleksi administrasi atau psikotes.”
“Terus habis itu dikasihnya fresh graduate. Mampus.”
“Yang penting ada tambahan orang, jadi kita nggak terlalu keteteran.”
“Aku agak males ngajarin fresh graduate yang masih nol pengalaman. Apalagi yang skill komunikasinya jelek.”
“Kamu juga dulunya fresh graduate. Bahkan nggak ngerti apa kepanjangan dari ISPO.”
Antoni berdeham, kemudian menyimpan dokumen arsip ke dalam kabinet.
Riana tertawa, lalu menyimpan laporan yang baru dikerjakan sampai lembar cover dan daftar isi. Akan dilanjutkan besok pagi, sebab saat ini waktu sudah menunjukkan pukul enam petang. Lengit sudah menggelap, sebagian besar staf sudah kembali ke rumah masing-masing.
“Mau balik bareng, Ri?” tanya Antoni sambil membereskan meja kerjanya yang agak berantakan.
“No, thanks. Aku balik sendiri aja, habis ini mau mampir beli martabak dulu,” jawab Riana, menolak dengan sopan.
Sebab Riana tak ingin membuat Jiwa salah paham dan cemburu. Bagaimana pun, Antoni adalah laki-laki. Meskipun sebenarnya Riana sudah menganggap Antoni seperti adiknya sendiri.
“Duluan, ya,” kata Riana, kemudian berjalan meninggalkan ruang divisi sambil melambaikan tangannya.
Perempuan itu menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Menimbang-nimbang apakah harus menaiki angkutan umum atau ojek online. Kondisi jalanan bisa dipastikan macet parah, sehingga taksi harus dicoret dari list.
“Jalan ke depan dulu, deh. Sambil cari martabak,” gumam Riana sambil masuk ke dalam lift.
Lift tertutup, perlahan bergerak menuju lantai dasar.
Riana mengusap tengkuk lehernya yang terasa pegal, kemudian menguap. Belum apa-apa sudah diserang kantuk.
Sesampainya di lantai dasar, Riana langsung berjalan menyusuri lobi. Hendak mencari martabak manis. Biasanya di sekitar kompleks perkantoran ada banyak pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai jenis jajanan, selalu ramai ketika masuk jam pulang kantor.
Membeli martabak manis cokelat keju untuk dibawa pulang. Agar bisa dinikmati bersama Jiwa, barangkali sambil bertukar obrolan dan candaan ringan.
***
Riana tak tahu sejak kapan tepatnya, yang jelas akhir-akhir ini jam pulang kerja menjadi momen favoritnya. Sepanjang perjalanan pulang, senyuman menghiasi bibir manisnya. Walau terjebak macet sekali pun, tak ada umpatan yang terlontar dari mulutnya.
Sebab Riana tahu kalau Jiwa akan menunggu di depan studio, biasanya sambil memberi makan Brown yang selalu kelaparan. Lalu, laki-laki itu akan tersenyum lebar ketika melihat Riana berjalan dari kejauhan.
Hal yang sangat sederhana, tapi berhasil menghadirkan rasa nyaman di dalam dada Riana.
Ojek yang dinaiki oleh Riana sampai di tempat tujuan ketika waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Tapi, kali ini tak ada Jiwa di depan studio.
Riana turun dari motor, menyerahkan sejumlah uang kepada driver.
Perempuan itu mengerutkan kening, menatap ke arah studio yang terlihat sepi. Pintunya tertutup, bahkan jendelanya ditutupi tirai. Tapi, mobil Jiwa ada di depan.
“Jangan-jangan sakit?” gumam Riana dengan nada cemas.
Riana mendekat ke arah studio, tangan kanannya terangkat untuk mengetuk pintu, sedangkan tangan kirinya membawa kantung plastik berisi sekotak martabak manis.
Selang beberapa saat, pintu terbuka.
“Jiwa, are you—”
Ucapan Riana tercekat ketika menyadari yang membukakan pintu bukanlah Jiwa, melainkan Mada. Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Mada juga tak kalah terkejutnya saat melihat Riana berdiri di depan pintu.
Dua manusia itu sama-sama diam, hanya saling menatap dengan ekspresi yang sulit terbaca. Mereka yang dulunya saling mencintai, kini terasa begitu asing. Seperti belum pernah berjumpa sebelumnya dan hanya sekadar mengetahi nama satu sama lain.
“Apa kabar, Mas?” tanya Riana pada akhirnya.
Mada mengangguk pelan. “Baik. Kamu gimana, Ri?”
Riana tak tahu harus menjawab pertanyaan Mada dengan kalimat macam apa. Oleh sebab itu, ia hanya tertawa hambar.
“Jiwa di mana?” tanya Riana setelah tawanya reda.
“Lagi ke mini market, beli rokok,” jawab Mada.
Riana hanya tersenyum tipis, memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Harusnya sejak awal Riana paham soal konsekuensi yang harus ia hadapi apabila dekat dengan Jiwa. Cepat atau lambat, pasti akan berjumpa dengan Mada.
Riana terlena, hingga melupakan fakta penting bahwa status Jiwa adalah adik kandung Mada.
“Kali ini juga mau main-main, Riana?” tanya Mada, memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
Tenggorokan Riana seperti tercekik. Pertanyaan sederhana itu tak mampu ia jawab dengan tegas dan lugas.
“He really loves you,” sambung Mada beberapa saat kemudian. “Kalau cuma main-main, lebih baik berhenti dari sekarang. Nggak lucu kalau kakak beradik patah hati gara-gara perempuan yang sama.”
Kalimat yang diucapkan oleh Mada memang benar. Riana sepenuhnya sadar soal itu.
Hanya saja, ada bagian dari hati Riana yang ingin serakah. Enggan melepaskan Jiwa karena segala perhatian manis yang diberikan olehnya benar-benar menenangkan. Bahkan setelah sekian lama, Riana kembali menyukai kata pulang.
“Udah sejauh mana kalian berdua?” tanya Mada saat melihat Riana hanya diam.
Lamunan Riana seketika buyar. Perempuan itu memaksakan senyuman di bibirnya, kemudian berkata, “nggak sampai mana-mana, Mas. Aku sama Jiwa nggak ada hubungan spesial.”
Mada menunduk, menatap kantung plastik berisi sekotak martabak yang ada dalam genggaman Riana.
Tak berselang lama, Jiwa kembali. Mengemudikan mobil milik Mada untuk pergi ke mini market, membeli sebungkus rokok.
Jiwa menghentikan mobil di depan studio, lalu melompat turun. Kedua matanya membulat dengan sempurna saat melihat Mada sedang behadap-hadapan dengan Riana.
“Mana kunci mobilnya,” kata Mada.
Jiwa melemparkan kunci mobil, langsung ditangkap oleh Mada.
“Mau langsung balik?” tanya Jiwa.
“Iya. Yashinta pasti udah nunggu di rumah,” jawab Mada, lalu bergegas masuk ke dalam mobilnya.
Dalam hitungan menit, mobil yang dikemudikan oleh Mada telah melaju meninggalkan studio.
Selepas Mada pergi, tatapan Jiwa terpaku ke arah Riana.
“Tadi Mas Mada ngomong apa?” tanya Jiwa.
Riana tersenyum. “Nggak ngomong apa-apa, cuma tanya kabar. Ini aku bawa martabak manis buat kamu.”
Jiwa menerima kantung plastik berisi sekotak martabak manis dari Riana.
“Ayo makan bareng, sekalian nonton serial dokumenter.”
“Sorry, aku capek banget. Mau langsung istirahat aja, soalnya besok harus berangkat lebih pagi buat rapat bulanan.”
“Ah, okay. Habis ini langsung tidur, ya. Pakai piyama yang nyaman.”
“Mm-hmm…”
Jiwa mengulurkan tangannya, mengusap kepala Riana dengan lembut.
Setelah itu, Riana membalik badannya dan mulai berjalan menaiki tangga menuju tempat tinggalnya. Kepalanya berkecamuk, dadanya bergemuruh hebat.
Apa yang harus Riana lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.