break the rules
•
Riana sangat menyukai stasiun. Jika diberi pilihan untuk menggunakan pesawat atau kereta api dalam menempuh perjalanan ke luar kota, tanpa ragu sedikit pun Riana akan memilih kereta. Waktu tempuhnya memang lebih lama, tapi sepanjang perjalanan ia bisa menjumpai beragam pemandangan. Mulai dari pepohonan yang rimbun, pemukiman padat penduduk, sungai-sungai yang keruh, serta tembok pembatas yang penuh dengan coretan.
Riana pertama kali naik kereta sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika harus ke Semarang karena Papa dirawat di rumah sakit. Berangkat dari Jakarta seorang diri, pulangnya juga sendiri. Sejak saat itulah ia mulai jatuh cinta pada stasiun dan kereta api.
Tapi, perjalanan kali ini terasa sedikit berbeda, sebab Riana mengajak Jiwa ikut serta.
Kereta berangkat pada pukul sepuluh pagi, diperkirakan tiba di Semarang pada pukul setengah lima sore. Dari Pasar Senen menuju Tawang.
Riana dan Jiwa duduk bersisian di gerbong eksekutif. Riana memilih kursi di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan, tentu saja Jiwa tak keberatan soal itu.
“Biasanya aku selalu naik kereta sendirian,” gumam Riana, senyuman terukir di bibirnya. “Duduk sama stranger. Kalau pas bareng ibu-ibu, biasanya diajak ngobrol dan ditawarin makanan. Paling nggak suka kalau sebelahan sama cowok yang suka flirting, apalagi sampai minta nomor telepon.”
“So? Kamu minta pindah kursi?” tanya Jiwa.
“Pakai airpods, terus pura-pura tidur. Selama nggak ada ucapan atau tindakan yang mengarah ke pelecehan, aku nggak akan memperpanjang masalah.”
“Dari Jakarta ke Semarang hampir tujuh jam, Riana. Kamu tahan kalau sebelahan sama orang ngeselin yang suka ngomong panjang lebar?”
Riana tertawa, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Mengamati pemukiman padat penduduk di sekitar rel kereta.
“Kenapa nggak tanya apa-apa?” tanya Riana beberapa saat kemudian, terdengar cukup serius.
“Soal apa?” sahut Jiwa.
“Soal aku yang tadi malam kelihatan kacau, terus tiba-tiba ngajak kamu ke Semarang. Kamu nggak penasaran sama alasanku? Kenapa langsung setuju buat ikut?”
“Kalau alasan itu termasuk hal menyakitkan buat kamu, nggak perlu diomongin. Aku nggak mau ngorek luka kamu. Tapi, seandainya kamu mau cerita, aku siap jadi pendengar setia.”
Riana terdiam selama beberapa saat, mencari kalimat yang tepat untuk memulai ceritanya. Jiwa menunggu dengan sabar, biarkan detik demi detik berlalu tanpa ada yang bicara. Hanya suara kereta yang terdengar cukup lantang.
“Adik tiriku besok tunangan, makanya aku diminta buat dateng ke Semarang,” ucap Riana, kemudian mengembuskan napas. “She’s nineteen, bahkan belum lulus kuliah. Si anak manja yang dari bayi jadi kesayangannya Papa. Bahkan pesta pertunangannya aja digelar dengan meriah.”
Jiwa mengangguk pelan, akhirnya paham kenapa tadi malam Riana terlihat kacau. “Kalau kamu nggak suka ketemu mereka, kenapa harus memasakan diri buat dateng?”
“Aku juga sempat mikir kayak gitu. I mean, buat apa ngasih atensi ke orang-orang yang nggak punya kontribusi penting dalam hidupku?”
“Right. Kamu udah nggak bergantung sama orang tua, jadi cukup fokus sama diri sendiri. Move on, nggak usah lihat ke belakang lagi.”
“Sayangnya, it’s not that easy. Aku nggak rela kalau Papa bahagia sama keluarga barunya, sedangkan aku stuck di kondisi yang sama. Aku harus ke sana, ngungkit lagi gimana jahatnya mereka di masa lalu.”
Ada amarah yang jelas terasa dari cara Riana berbicara. Jiwa mencoba untuk paham, tak mau berkomentar atau memberi saran lebih jauh.
“Aku sengaja ngajak kamu, biar ucapan dan tindakanku nggak keluar batas,” sambung Riana, menatap Jiwa lekat-lekat.
Dan, Riana juga ingin menunjukkan betapa kacau keluarganya. Sehingga Jiwa bisa mundur pelan-pelan apabila kesulitan untuk menerima.
Secara tak langsung, Riana ingin mendorong Jiwa agar pergi dengan sendirinya. Menyodorkan berbagai alasan kenapa Jiwa tak seharusnya tetap berada di sisi Riana.
“Jangan khawatir,” ucap Jiwa sambil meraih jemari Riana, menguncinya. “Seandainya kamu marah sampai level yang paling parah, aku langsung pegang tangan kamu kuat-kuat. Kita sama-sama pergi, cari tempat buat teriak sekeras-kerasnya.”
Ucapan yang terdengar manis sekali, namun Riana justru rasakan getir di ujung lidahnya. Apakah pantas Riana mendapatkan cinta dan afeksi yang sedemikian besarnya dari seorang laki-laki?
“Mau pesen makanan?” tanya Jiwa.
“Boleh, tapi jangan ayam geprek. Nanti bau bawang putih,” jawab Riana.
“Emang kenapa kalau bau bawang putih?”
“Itu baunya menyengat banget, Jiwa. Aftertastenya nggak enak.”
“Nggak masalah. Kita bukannya mau ciuman.”
“Kenapa tiba-tiba bahas ciuman? Nggak lihat itu di sebelah kamu ada anak-anak?”
Jiwa menoleh ke samping, menjumpai seorang bocah enam tahunan sedang menatap ke arahnya sambil mengerjapkan mata. Tawa Jiwa seketika pecah. Baru saja ia ingin mengajak Riana berciuman di dalam kereta.
“Baca buku aja,” kata Riana sambil membuka tasnya, mengeluarkan sebuah buku.
“Baca yang keras, biar aku ikut denger juga,” sahut Jiwa.
“No. Penumpang yang lain keganggu kalau aku baca buku keras-keras.”
“Okay. Kalau gitu aku tidur aja.”
Jiwa menyandarkan kepalanya di bahu Riana.
Riana tersenyum, kemudian mengedus wangi sampo yang menguar dari rambut Jiwa. Meskipun cukup berat, tapi Riana biarkan Jiwa bersandar di pundaknya.
“Ini buku apa? Novel romance?” tanya Jiwa sambil memperhatikan buku yang sedang dipegang oleh Riana.
“Bukan. Ini buku geografi, tentang bumi,” jawab Riana.
“You love earth that much, huh?”
“I love nature. Kalau udah tua nanti, aku mau tinggal di daerah pegunungan yang penuh tumbuhan hijau.”
“Ajak aku juga.”
“Are you sure? Nggak akan bisa makan fast food, loh. Kamu kan suka banget makan fast food.”
“Aku sebenernya nggak terlalu suka fast food, Ri. Tapi, pilihan yang gampang cuma itu. Repot kalau setiap hari harus masak, belum lagi cuci piringnya.”
“Kamu kan sehari-hari work from home, harusnya bisa stay di rumah. Kan enak nggak perlu repot cari makan, nyuci baju, bersih-bersih. Setiap hari bisa main sama Gemi. Kenapa malah sewa tempat buat workspace?”
“I need a space for myself, yang nggak bisa sembarangan dimasuki siapa aja. Kalau di rumah, Mami dan Gemi sering tiba-tiba masuk ke kamar tanpa permisi.”
“Tapi, keluarga kamu cukup harmonis, kan?”
“Nggak sempurna, tapi rumah kami selalu hangat dan nyaman.”
Berbanding terbalik dengan Riana yang nyaris lupa seperti apa kehangatan keluarga.
Perempuan itu membuka membalik halaman, meskipun sebenarnya tak fokus membaca. Sejak tadi fokus mendengarkan tiap kata yang diucapkan oleh Jiwa.
“Mada sekarang udah nggak serumah sama orang tua kalian lagi?” tanya Riana, tiba-tiba penasaran dengan sang mantan.
“Pindah ke apartemen,” jawab Jiwa.
“Berdua sama istrinya?”
“Mm-hmm…”
“Mereka kenal dari lama?”
“Sejak SMA, dulu sama-sama aktif ikut kegiatan pramuka. Mami juga kenal baik sama orang tuanya Yashinta. Makanya Mada langsung dijodohin sama Yashinta begitu putus sama kamu. Ketemu tiga kali, terus sepakat buat menikah.”
Riana mengangguk, lalu membuka halaman selanjutnya.
“Kenapa tiba-tiba tanya soal Mada? Masih ada rasa?” tanya Jiwa.
Riana tertawa, kemudian berkata, “no, sama sekali nggak ada rasa yang tersisa. Aku cuma penasaran sama kisah mereka.”
“Kirain masih cinta.”
“Nggak, kok. Aku yang milih buat lepasin Mada, sejak hari itu juga siap buat nanggung semua konsekuensinya.”
Jiwa tersenyum, lalu mendaratkan kecupan di bahu Riana.
Just a simple kiss, tapi berhasil menghadirkan desiran hangat di dalam rongga dada.
Perjalanan selama hampir tujuh jam itu terasa begitu panjang, tapi juga menyenangkan karena ada banyak hal yang bisa mereka bicarakan. Mulai dari masalah pekerjaan, kisah masa lalu, hingga hal-hal random yang mereka lihat dari jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.