break the rules
•
“Riana!”
Jiwa memanggil, tapi Riana tak mendengarkannya.
Riana melepas sepasang high heels dari kakinya, meninggalkannya begitu saja di atas aspal. Setelah itu, membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Air mata telah menggenang di pelupuknya. Detik itu, Riana hanya ingin pergi sejauh-jauhnya.
Jiwa memungut high heels yang tergeletak di atas aspal, kemudian mempercepat langkahnya agar bisa segera menyusul Riana.
“Riana! Tunggu!” panggil Jiwa.
Riana terus menapakkan kakinya, menyusuri jalanan yang cukup senggang. Tak peduli meskipun kakinya sedikit terluka akibat kerikil kecil yang tak sengaja terinjak. Perempuan itu tidak ingin bertemu tatap dengan Jiwa, apalagi berlari ke dalam rengkuhannya. Apa yang terjadi di ruang makan benar-benar memalukan, menghancurkan harga dirinya hingga tak tersisa.
Beberapa saat kemudian, Jiwa meraih tangan Riana.
“Stop, Riana,” pinta Jiwa dengan nada setengah memohon.
Riana justru menepis jangan Jiwa dengan kasar, lalu mempercepat langkah. Sesekali menengok ke kanan dan kiri, siapa tahu ojek yang dipesan sudah datang. Kepala Riana benar-benar berisik, tak ada lagi energi yang tersisa untuk sekadar bicara atau mengungkapkan apa yang sedang dirasa.
Begitu driver ojek datang, Riana langsung naik ke atas boncengan.
“Jalan sekarang, Pak,” ucap Riana.
Sekali lagi, Jiwa menangkap tangan Riana. Menggenggamnya erat-erat.
“Kita ke hotel bareng, Ri. Naik taksi,” kata Jiwa.
Riana kembali menepis tangan Jiwa, kemudian meminta sang driver untuk segera melajukan motornya. Silakan anggap Riana egois atau kekanakan, tapi faktanya ia memang kacau dan bisa meledak kapan saja.
Maka, motor melaju dengan kecepatan tinggi. Masuk ke jalan raya yang masih sedikit padat. Riana tak sedikit pun menoleh ke belakang, tak mau melihat ekspresi kecewa dan sedih yang jelas tergambar dari wajah Jiwa.
Angin malam menerpa wajah Riana, menerbangkan helaian-helaian rambutnya. Kedua tangan perempuan itu terkepal kuat, air mata mulai menetes membasahi pipinya.
Memalukan sekali. Untuk apa Riana menangisi sosok ayah yang telah meninggalkannya sejak bertahun-tahun silam? Kenapa ia harus sakit hati karena ucapan adik-adik tirinya?
Pada akhirnya, Riana menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Yang selama ini hanya berpura-pura untuk kuat, ingin menunjukkan di depan semua orang bahwa dirinya bisa berdiri tegak meskipun rumahnya hancur berantakan. Padahal, jauh di dalam hatinya, gadis itu benar-benar hampa dan kesepian.
Riana termenung, menatap kendaraan yang berlalu-lalang di jalan. Sesekali menjumpai keluarga kecil yang menghabiskan malam minggu dengan jalan-jalan di sekitar Simpang Lima. Ada pula pasangan kekasih yang memenuhi kedai-kedai di pinggir jalan, terlihat manis ketika berbagai makanan.
Kenapa hanya Riana yang menyedihkan?
Riana tersenyum miris, kemudian mengusap air matanya sendiri.
Begitu ojek yang dinaiki sudah sampai di depan hotel, Riana segera turun dari sepeda motor. Menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver yang sudah mengantar dengan selamat. Setelah itu, berjalan menuju lobi dengan kedua kakinya yang telanjang.
Perempuan itu masuk ke dalam lift, menuju lantai di mana kamarnya berada.
Rasanya tidak benar meninggalkan Jiwa tanpa sepatah kata. Tapi, Riana benar-benar kalut sampai tidak bisa berpikir jernih. Prioritasnya hanya meninggalkan rumah Papa secepatnya, kemudian menangis sendirian di dalam kamar. Sampai seluruh emosi dan frustrasinya diluapkan.
Tak berselang lama, lift terbuka.
Riana segera melangkah keluar, kemudian membuka pintu kamarnya.
Jatuh merosot, mendekap kedua lututnya. Riana menangis tanpa suara, di dalam kamar yang lampunya sengaja dimatikan.
Lalu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Rian, buka dulu pintunya,” ucap Jiwa yang tampaknya baru saja sampai. “Ayo kita ngobrol sambil jalan-jalan, cari banyak jajanan yang enak.”
Riana tak merespon, masih diam di tempatnya sambil menatap seisi kamar yang gelap gulita.
“Please. Aku khawatir,” sambung Jiwa, lalu kembali mengetuk pintu.
Riana merasa ditelanjangi, tak ada lagi rahasia yang bisa disimpan rapat-rapat. Jiwa telah mengetahui segalanya, bahkan menyaksikan secara langsung bagaimana kacaunya hubungan Riana dengan ayah dan adik-adik tirinya.
“Aku tahu kalau kamu kalut dan marah. Tapi, tolong jangan begini, Riana,” ucap Jiwa, ada kekhawatiran yang jelas terasa dari caranya berbicara. “Kamu nggak harus nahan semuanya sendirian. Ada aku di sini.”
Akhirnya Riana berdiri, tangannya menyentuh gagang pintu yang terasa dingin. Perlahan menariknya hingga pintu kamar benar-benar terbuka.
Jiwa mengembuskan napas, lega luar biasa karena Riana mau keluar.
“Kamu lihat sendiri gimana kacaunya keluargaku. Well, sebenernya aku yang kacau, aku yang jadi sumber masalah,” gumam Riana.
Jiwa menggeleng pelan, “you’re not. Jangan ngomong kayak gitu.”
Riana tersenyum miris, kemudian menatap Jiwa lekat-lekat.
“Look at me,” ucap Riana, terdengar putus asa, “aku kacau, stuck di masa lalu sampai nggak bisa melangkah maju. Aku nggak bisa bedain mana yang tulus dan mana yang palsu. Aku punya trust issue, jadi nggak pernah bisa berkomitmen sama laki-laki.”
Riana membeberkan segudang alasan kenapa Jiwa harus mundur. Tak ada gunanya terus mengejar, karena pada akhirnya Riana tak bisa memberi kepastian. Suatu saat, Jiwa juga akan terluka. Sama seperti beberapa laki-laki yang Riana pukul mundur dari hidupnya.
“Aku nggak peduli, Riana. Di mataku, kamu perempuan yang luar biasa,” jawab Jiwa.
Riana tertawa hambar, kemudian berkata, “aku bahkan nggak bisa ngasih kamu kepastian!”
“Dari awal aku nggak pernah ngajak kamu pacaran. Karena aku tahu kamu takut berkomitmen, nggak mau menjalani hubungan yang serius sama laki-laki.”
“Right. Kalau kamu tahu soal itu, harusnya mundur sekarang juga. Bukannya malah terus-terusan ngejar.”
“Aku nggak keberatan menjalani hubungan tanpa status sama kamu. Aku nggak nuntut kepastian. Aku cuma mau di samping kamu, dengerin kamu cerita, sesekali ngerasain hangatnya pelukan kamu. It’s more than enough.”
Riana kehilangan kata-kata. Tak menduga kalau Jiwa senaif itu.
“You love me. It’s enough. Aku nggak butuh status atau apa pun itu,” sambung Jiwa.
Riana mengembuskan napas, “love isn’t enough! Suatu hari nanti, kamu bakal capek sendiri, terus ujung-ujungnya pergi.”
“Kenapa kamu bisa ambil kesimpulan sejauh itu padahal kita belum mencoba?”
“Hubunganku sama Mada hancur berantakan. Harusnya dari titik itu kamu paham kalau aku bermasalah.”
Silakan anggap Jiwa bodoh atau naif. Tapi, faktanya laki-laki itu memang tak peduli dengan apa kata orang. Ia terlanjur jatuh cinta, sehingga kesulitan untuk mencari pintu keluar. Debaran yang hadir di dalam dada tak dapat dihilangkan begitu saja.
“Iya, nggak apa-apa. Kita bisa memperbaiki masalah itu bareng-bareng,” ujar Jiwa.
“Nggak ada yang bisa diperbaiki,” balas Riana, nada bicaranya sedikit meninggi. “Ujungnya tetap sama, Jiwa. Orang tua kamu juga nggak akan suka kalau anaknya menjalin hubungan sama perempuan kayak aku.”
Hati Jiwa terasa nyeri, tiba-tiba mengingat kembali obrolannya dengan Mami. Saat Jiwa meninggalkan rumah untuk hidup mandiri di studio, Mami mengingatkan agar Jiwa tak berpacaran dengan perempuan yang seperti mantannya Mada.
“See? Kamu tahu persis kalau yang kita hadapi ini jalan buntu. Dari awal, aku sengaja ngajak kamu ke sini karena mau nunjukin gimana hancurnya keluargaku, biar kamu punya seribu alasan kenapa harus mundur,” ucap Riana.
“Aku tetap nggak nemu alasan yang tepat kenapa harus berhenti ngejar kamu,” sahut Jiwa.
Detik berikutnya, Jiwa merengkuh pinggang Riana. Mengikis jarak, hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Lalu, Jiwa mendekatkan wajahnya, mencium bibir Riana.
Riana terpaku, sekujur tubuhnya mendadak kaku. Ciuman itu terasa begitu manis, tapi di sisi lain juga hadirkan rasa nyeri.
Riana mencengkram bahu Jiwa, lalu memejamkan matanya secara perlahan.
Ciuman yang semula terasa lembut perlahan berubah menjadi lebih menuntut. Jiwa mengeratkan rengkuhannya, kemudian loloskan lidahnya ke dalam celah bibir Riana. Seolah ada percikan kembang api yang terbakar di dalam rongga dada.
Lalu, Riana mundur beberapa langkah. Secara tak langsung menyeret Jiwa ke dalam kamar yang lampunya belum dinyalakan.
Jiwa melangkah masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu dengan kakinya.
***
Hello 👋
Don't forget to stream Drama - aespa 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Break the Rules
FanfictionSebuah pesta pernikahan mengantarkan Riana Sekar Natadirja berjumpa dengan Jiwangga Kama Hadinata. Kehadiran Jiwa layaknya sebuah penawar untuk Riana yang kesepian dan selalu haus akan afeksi.